Wednesday, August 6, 2014

Pembahasan Ilmiyah Seputar Aqiqah (2)

بِسْم ِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ









PEMBAHASAN ILMIYAH SEPUTAR AQIQAH (Pertemuan 2)

4 Masalah : Apakah hari ketujuh (untuk pelaksanaan aqiqah) dalam hadits Samurah bin Jundub dihitung dari hari kelahiran ataukah dari hari keesokannya?


Jawaban:


Dalam masalah ini ada dua pendapat, sebagian ulama berpendapat bahwa hari ketujuh dihitung dari keesokan harinya yaitu hari kelahiran tidak dihitung, namun Jumhur ulama berpendapat bahwa hari ketujuh itu dihitung dari hari bayi dilahirkan, dan ini adalah pendapat yang benar sesuai dengan dzohir hadits Samuroh, karena dhomir Ha (يَوْمَ سَابِعِهِ) kembali pada hari bayi dilahirkan. Ini adalah pendapat yang diplih oleh Syekhuna Abdurrahman Al ‘Adeny.


Beliau berkata: Pendapat jumhur lebih kuat, bahwa hari kelahiran bayi dihtung sebagai hari pertama, oleh karena itu apabila bayi dilahirkan pada hari jumat maka aqiqah dilaksanakan pada hari kamis.


Hari jumat dimulai dari terbit fajar (shubuh) sampai terbenamnya matahari, apabila bayi dilahirkan sebelum terbit fajar pada hari jumat maka aqiqah disyariatkan pada hari kamisnya. Apabila bayi dilahirkan hari jumat setelah maghrib maka aqiqah disyariatkan pada hari jumat, karena hari itu dimulai dari terbitnya fajar. Apabila dilahirkan sebelum fajar maka dianggap seakan-akan dilahirkan setelah fajar dan apabila dia lahir setelah maghrib maka dianggap seakan-akan lahir pada hari setelah maghrib (yaitu hari keesokan harinya) karena hari itu dimulai dari terbit fajar dan berakhir dengan terbenamnya matahari, adapun antara maghrib sampai terbit fajar maka itu disebut malam (malam tersebut dianggap milik hari keesokannya).


4 Masalah: Apakah boleh melakukan aqiqah sebelum hari ketujuh atau setelahnya?


Jawaban:


Para ulama dalam masalah ini juga ada dua pendapat, namun pendapat yang paling kuat dan terpilih dalam permasalahan ini adalah pendapat Jumhur ulama, yang mana hal itu sah-sah saja, dengan dalil keumuman hadits Salman bin 'Amir Adh Dhabby, bahwa nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


« مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى »


"Anak yang lahir harus disertai aqiqahnya, Alirkanlah darah (sembelihlah kambing) dan hilangkan gangguannya (cukur rambutnya)." [HR. Al Bukhary]


Dan juga bahwa aqiqah itu adalah ibadah disyariatkan dalam rangka kelahiran seorang bayi, dan adapun penyebutan hari ketujuh pada hadits Samurah dibawa kepada afdhaliyah atau sunnah.


4 Masalah: Apakah anak yatim juga dilaksanakan aqiqah untuknya?


Jawaban:


Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, namun pendapat yang kuat adalah anak yatim juga dilaksanakan aqiqah untuknya dan diambil untuk membeli hewan aqiqahnya dari hartanya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan yang lainnya, pendapat ini dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga Syekhuna Abdurrahman Al ‘Adeny. Karena hadits dalam permasalahan aqiqah bersifat umum:


« كُلُّ غُلَامٍ رَهِينٌ بِعَقِيقَتِهِ »


“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya” [HR. Ashab Assunan dari shahabat Samurah bin Jundub, dishahihkan oleh Syekh Al Albany dan Syekh Muqbil_rahimahumallohu ta’ala]


4 Masalah: Apakah anak yang sudah baligh (dewasa) juga disyariatkan pelaksanaan aqiqah yaitu apabila semenjak kecilnya belum dilakasanakan aqiqah untuknya?


Jawaban:


Para ulama juga berbeda pendapat dalam permasalahan ini:


Pendapat Pertama: Pendapat Jumhur ulama, mereka berpendapat bahwa aqiqah adalah hanya khusus untuk anak kecil yang belum baligh, adapun kalau sudah baligh/dewasa maka tidak disyariatkan untuknya, karena hadits-hadits yang menyebutkan penyembelihan hewan untuk aqiqah disunnahkan pada hari ketujuh dari hari kelahirannya, dan juga tidaklah dinamakan aqiqah apabila dilaksanakan untuk anak yang sudah baligh. Dan telah kita lewati bahwa aqiqah adalah hewan kurban yang disembelih untuk bayi yang baru lahir dalam rangka pendekatan diri kepada Allah ta’ala dan sebagai wujud rasa syukur atas kenikmatanNya. Dan juga tidaklah ada dalil yang shahih yang menunjukan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan aqiqah untuk dirinya atau melaksanakan aqiqah untuk orang dewasa.


Pendapat Kedua: pendapat sebagian ulama, seperti 'Atha, Al Hasan Al Bashri, dan sebagian ulama yang bermadzhab Asy Syafi'iyah dan Hanabilah, mereka berpendapat bahwa hal tersebut tetap disyariatkan walaupun sudah dewasa, mereka berdalil dengan hadits Anas radhiyallahu 'anhu:


(( أَنَّ النَبِيَّ صلى الله عليه وسلم عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ ))


“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan aqiqah untuk dirinya setelah diutus sebagai nabi.”


Hadits ini diriwayatkan Al Bazzar, Abdurrazaq dan Al Baihaqy. Hadits ini diriwayatkan dari jalan Abdulloh bin Muharrar dan dia adalah Matruk dalam hadits. Para ulama, seperti Imam Ahmad, Abu Hatim Ar Razy, Ibnu Hajar, Adz Dzahaby, Al Baihaqy dan yang lainnya sepakat bahwa hadits Abdulloh Muharror ditinggalkan, berkata Al Baihaqy: Haditsnya tidak bisa dijadikan Hujah/pedoman. Berkata Al Bazzar: Dia lemah sekali dalam ilmu hadits.


Maka Pendapat yang kuat dan terpilih dalam permasalahan ini adalah pendapat pertama yaitu pendapat jumhur ulama dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syekhuna Abdurrahman Al ‘Adeny; bahwa aqiqoh adalah dilaksanakan hanya khusus untuk anak kecil yang belum baligh, adapun kalau sudah baligh/dewasa maka tidak disyariatkan untuknya, dikarenakan tidak ada dalil ataupun hadits yang shahih yang menunujukan hal tersebut dan karena permasalahan ibadah adalah tauqifiyah  yaitu harus dibangun di atas dalil yang shahih baik dari Al Qur'an ataupun As Sunnah.


Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


« فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم »


“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.” [HR. Al Bukhary dan Muslim]


Insya Allah ta’ala kita lanjutkan pembahasan seputar ibadah aqiqah ini pada pembahasan berikutnya. Semoga Alloh ta'ala selalu memberikan kita taufiq dan hidayahNya untuk senantiasa mengikuti jejak Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.









ditulis oleh Abu ‘Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_15 Muharam 1435 H/19 Nov 2013_di Darul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah.

No comments:

Post a Comment