Friday, August 29, 2014

Hukum Wanita Bertanya Seputar Agama

Fatwa Syekhuna Abdurohman Al 'Adeny tentang  hukum wanita bertanya seputar agama baik di dalam sebuah grup atau yang lainnya melalui risalah atau SMS secara langsung dengan ustadznya:


Jawaban:


Aku nasehatkan apabila disana ada pertanyaan atau permintaan pendapat dari para wanita kepada para asatidzah hendaknya melalui jalan istri dari asatidzah tersebut. Mereka cukupkan melalui jalan ini. Segala hal yang melebihi hal ini maka itu adalah pintu kerusakan dan akan menimbulkan fitnah, Nabi sholallohu 'alaihi wasallam bersabda:


"مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ"


Artinya: "Sepeninggalku, tidak ada (sumber) bencana yang lebih besar bagi laki-laki selain dari pada wanita" (HR. Al Bukhori dan Muslim dari shohabat Usamah bin Zaid)


Dan Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam juga bersabda:


فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ


Artinya: "Maka takutilah dunia dan wanita, karena sesungguhnya sumber bencana Bani Isroil adalah wanita". (HR. Muslim dari shohabat Abu Sa'id Al Khudri).


Dan juga Nabi sholallohu 'alaihi wasallam bersbda:


المَرْأَةُ عَوْرَةٌ فِإَذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ


Artinya: "Wanita adalah aurot, maka apabila dia keluar (dari rumahnya) maka syaithon akan berdiri tegak (untuk mnyesatkannya kedalam fitnah atau menyesatkan laki-laki kedalam fitnah disebabkan wanita teersebut)". (HR. At Tirmidzy dari shohabat ibnu mas'ud. Dan dishohihkan oleh Syekh Al Albani dan Syekh Muqbil_semoga Alloh merahmati mereka).


Batasan Aurot Wanita

بِسْم ِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


Para Ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini menjadi dua pendapat:


Pendapat pertama:


Seluruh badan wanita adalah aurot, termasuk di dalamnya wajah dan telapak tangan. Ini adalah pendapat imam Ahmad dan jumhur Ulama Hanabilah, dan dirojihkan oleh para Muhaqqiqun, dan pendapat ini yang dipilih oleh Syekh Al Utsaimin, Syekh Muqbil dan Syekhuna Abdurohman Al 'Adeny.


Diantara dalil-dalil pendapat ini adalah sebagai berikut:


Firman Alloh ta'ala:


وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ


“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir.” [QS. Al Ahzab: 53]


Sebab turunnya ayat ini menunjukan kewajiban bagi wanita untuk menutup seluruh tubuhnya. Lihatlah hadist Anas di dalam Shohihain tentang sebab turunnya firman Alloh:


وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ......الآية


“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka…” [QS. An Nur: 31]


Sisi pendalilan dari ayat ini: Firman-Nya: " janganlah menampakkan perhiasannya" termasuk perhiasan wanita adalah wajah, dan wajah merupakan perhiasan yang paling besar dan berharga daripada rambut dan betisnya.


Firman Alloh ta'ala:


يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ


“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” [QS. AL Ahzab: 59]


Jilbab adalah pakaian yang menutup seluruh tubuh wanita.


Firman Alloh ta'ala:


وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ...


“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan…” [QS. An Nur: 60].


Sisi pendalilan dari ayat ini: Bahwa perempuan-perempuan yang sudah tua, yang mana kaum lelaki sudah tidak tertarik kepadanya maka diberikan ijin untuk menanggalkan jilbab-jilbab mereka yaitu boleh bagi mereka untuk tidak menutup kepala dan wajahnya. Hal ini menunjukan bahwa selain dari mereka tidak diberikan ijin untuk membuka kepala dan wajahnya.


Hukum Memenuhi Undangan Walimah Khitan

Sebelumnya telah lewati pembahasan kita seputar hukum memenuhi undangan walimah pernikahan, yang mana pendapat terkuat dan terpilih adalah wajib berdasarkan dalil-dalil yang menunjukan atas kewajiban memenuhi undangan tersebut.


Adapun memenuhi undangan makan selain walimah pernikahan seperti walimah khitan maka para ulama juga berbeda pendapat menjadi dua pendapat :


Pendapat Pertama: Menyatakan bahwa hukumnya wajib, ini adalah pendapat Asy Syafi'iyah, Al 'Anbary dan Ibnu Hazm dan dipilih oleh Asy Syaukany. Dalil mereka keumuman hadits hadits Abu Huroiroah:


حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ» قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟، قَالَ: «إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ ..... « الحديث


"Hak seorang muslim terhadap seorang muslim ada enam perkara." Lalu beliau ditanya; 'Apa yang enam perkara itu ya Rosululloh?' Beliau menjawab: "Bila engkau bertemu dengannya, ucapkanlah salam kepadanya, bila dia mengundangmu, penuhilah undangannya…[HR. Muslim dengan lafadz ini].


Mereka berdalil pula dengan sabda Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam:


«إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ، فَلْيُجِبْ عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ»


"Jika salah seorang dari kalian mengundang saudaranya, hendaknya ia penuhi undangan tersebut, baik undangan pernikahan atau semisalnya" [HR. Muslim dari shohabat Ibnu 'Umar].


Pendapat Kedua: menyatakan bahwa hukumnya sunnah, ini adalah pendapat Jumhur (kebanyakan) para ulama. Dalil yang memalingkan dari wajib kepada sunnah adalah hadits Anas rodhiyallohu 'anhu berkata:


أَنَّ جَارًا لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَارِسِيًّا كَانَ طَيِّبَ الْمَرَقِ، فَصَنَعَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ جَاءَ يَدْعُوهُ، فَقَالَ: «وَهَذِهِ؟» لِعَائِشَةَ، فَقَالَ: لَا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا»، فَعَادَ يَدْعُوهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَهَذِهِ؟»، قَالَ: لَا، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا»، ثُمَّ عَادَ يَدْعُوهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَهَذِهِ؟»، قَالَ: نَعَمْ فِي الثَّالِثَةِ، فَقَامَا يَتَدَافَعَانِ حَتَّى أَتَيَا مَنْزِلَهُ.


"Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam mempunyai tetangga seorang bangsa Persia yang pandai memasak. Pada suatu hari dia memasak hidangan untuk Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam. Setelah itu dia datang mengundang beliau. Beliau bertanya: "'Aisyah bagaimana? orang itu menjawab: 'Dia tidak!', Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam bersabda: "Kalau begitu aku juga tidak!", orang ittu mengulangi undangannya kembali. Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam bertanya: "'Aisyah bagaimana?" orang itu menjawab: 'Dia tidak!', Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam bersabda: "Kalau begitu aku juga tidak!" Orang itu mengulangi undanyannya pula. Nabi sholallohu 'alaihi wasallam bertanya: "'Aisyah bagaimana?" Jawab orang itu pada ketiga kalinya; 'Ya, 'Aisyah juga.' Maka Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam pergi bersama 'Aisyah ke rumah tetangga itu.


Hukum Walimah Khitan atau Sunatan

Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini, ada yang berpendapat sunnah, ada yang berpendapat mubah (boleh-boleh saja) dan ada yang pula yang berpendapat makruh. Kesimpulan dari permasalahan ini, setelah kita melihat dalil-dalil masing-masing  pendapat maka pendapat yang terpilih dan kuat adalah bahwa hukum walimah khitan suatu hal yang mubah. Karena hukum sunnah adalah hukum syar'i, untuk mengatakan suatu hal itu hukumnya sunnah butuh dalil-dalil yang shohih dan marfu' (yang sampai) kepada Nabi sholallohu 'alaihi wasallam. Belum kita dapatkan dalil satupun bahwa Nabi sholallohu 'alaihi wasallam mengadakan walimah khitan.


Terdapat disana Atsar dari sebagian shohabat, yang mana mereka melakukan walimah khitan, diantaranya atsar yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhory dalam Adabul Mufrod:


قال سالم: خَتَنَنِي ابْنُ عُمَرَ أَنَا وَنُعَيْمًا، فَذَبَحَ عَلَيْنَا كَبْشًا.


"Salim (bin Abdullah bin Umar) berkata: Ibnu umar mengkhitanku dan juga mengkhitan Nu’aim, maka beliau menyembelih seekor kibas (domba besar) untuk khitan kami [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul mufrad no. 1246, berkata Syekh Al Albany: Atsar ini sanadnya dho'if]


Dan juga atsar 'Aisyah rodhiyallohu 'anha yang diriwayatkan oleh Ibnu abi Ad-dunya dalam kitab al ‘iyaal nomor 586:


عَنِ الْقَاسِمِ، قَالَ: أَرْسَلَتْ إِلَيَّ عَائِشَةُ بِمِائَةِ دِرْهَمٍ فَقَالَتْ: أَطْعِمْ بِهَا عَلَى خِتَانِ ابْنِكَ


"Dari Al-Qasim (bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq) berkata: "Aisyah rodhiyallohu 'anha telah mengirim kepadaku uang 100 dirham seraya berkata berilah makanlah bagi orang-orang untuk khitan anakmu."

Hukum Menghadiri Undangan Walimah

Memenuhi undangan walimah adalah perkara yang wajib yang harus ditunaikan, ini adalah pendapat jumhur ulama dan dipilih oleh Syekh Al 'Utsaimin dan Syekhuna Abdurohman Al 'Adany. Dalil dalam permasalahan ini adalah sabda Rosululloh sholallohu 'alaihi wasallam:


"إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا" متفق عليه من حديث ابن عمر.


Artinya: "Jika salah seorang dari kalian diundang ke acara walimahan maka hendaknya dia datang" [Muttafaqun 'alaihi dari shohabat Ibnu Umar]


Dan juga sabda Nabi sholallohu 'alaihi wasallam:


"شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الوَلِيمَةِ، يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الفُقَرَاءُ، وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "  رواه البخاري من حديث أبي هريرة.


Artinya: "Seburuk-buruk jamuan adalah jamuan walimah, yang diundang sebatas orang-orang kaya, sementara orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan (walimah) maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Alloh dan Rosul-Nya sholallohu 'alaihi wasallam". [HR. Al Bukhory, dari shohabat Abu Huroiroh]


?Peringatan:


Thursday, August 21, 2014

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [31]

Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata : “Dua perangai yang jika kamu lihat ada pada seseorang, maka ketahuilah bahwa pada diri orang tersebut terdapat perangai yang lebih bagus lagi daripada itu :

1. Apabila dia (pandai) menjaga lisannya.
2. Apabila dia (pandai) menjaga sholatnya.”

[Masu’ah Ibnu Abid Dunya : 5/222]

-----------------------------------------------------------

 31

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [30]

Yahya bin Muadz rahimahullah berkata : “Dunia adalah araknya setan. Barangsiapa mabuk dunia, maka dia tidak akan sadar kecuali jika sudah berada dalam detik-detik kematian, penuh dengan penyesalan bersama-sama orang-orang yang menyesal.” [Shifatush Shofwah : 4/341]


-----------------------------------------------------------



 30

Tuesday, August 19, 2014

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [29]

Abdullah bin Bakr al Muzani rahimahullah berkata : “Datang seorang laki-laki mencaci-maki al Ahnaf rahimahullah, sedangkan beliau hanya diam saja (tidak membalas). Maka laki-laki itu pun berkata : “Betapa sial aku! Tidaklah sesuatu yang menghalanginya untuk membalasku melainkan membuat aku malu sendiri.” [‘Uyunul Akhbar, 1/326]


-----------------------------------------------------------


29


Monday, August 18, 2014

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [28]

Ibnu Abi Laila rahimahullah berkata : “Aku berjumpa dengan 120 sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dari kalangan kaum Anshar. Apabila salah satu diantara mereka ditanya suatu masalah, maka dia senang jika saudaranya bisa mencukupinya (untuk menjawab masalah tersebut).” [Tahdzib as Siyar, 1/494]


-----------------------------------------------------------


 28

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [27]

Yahya bin Muadz rahimahullah berkata : “Wahai anak manusia! Agamamu akan senantiasa tercerai-berai selama hatimu cinta terhadap dunia.”[Shifatush Shofwah, 4/342]


-----------------------------------------------------------


 27

Sunday, August 17, 2014

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [26]

Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu berkata : “Gemar musik akan menumbuhkan sifat kemunafikan pada hati, sebagaimana air menumbuhkan perkebunan.” [Mausu’ah Ibnu Abid Dunya, 5/283]


-----------------------------------------------------------


 26

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [25]

Abu Idris al Khaulani rahimahullah berkata : “Masjid merupakan tempat duduk-duduknya orang-orang yang mulia.” [Tahdzib al Hilyah, 2/162]


Hassan bin ‘Athiyyah rahimahullah berkata : “Dahulu mereka para salaf menahan diri dari berbicara tentang wanita dan perkataan kotor di dalam masjid.” [Tahdzib al Hilyah, 2/266]


-----------------------------------------------------------


 25

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [24]

Sebagian salaf rahimahullah berkata : “Kamu tidak mentaati yang telah berbuat baik kepadamu (yakni Allah). Namun kenapa kamu berbuat baik kepada yang telah berbuat jelek kepadamu (yakni syaitan)?!” [Shifatush Shofwah : 4/489]


-----------------------------------------------------------



 24

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [23]

Hisyam bin Hassan rahimahullah berkata : “Suatu kejelekan menyakitimu, itu lebih baik daripada kebaikan namun menyombongkanmu.” [‘Uyunul Akhbar, 1/312]


-----------------------------------------------------------


23


Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [22]

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata : “Orang yang berilmu bukanlah yang mengetahui kebaikan dari kejelekan. Akan tetapi, orang yang berilmu adalah orang yang mengetahui kebaikan kemudian dia mengamalkannya dan mengetahui kejelekan kemudian dia menjauhinya.” [Az Zuhud lil Imam Ahmad : 308]


-----------------------------------------------------------


22

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [21]

Malik bin Dinar rahimahullah berkata : “Setiap teman duduk yang tidak bisa kau ambil faedah kebaikan sedikit pun darinya, maka jauhilah!” [Tahdzib al Hilyah, 2/425]


-----------------------------------------------------------



 21

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [20]

Makhul ad Dimasyqi rahimahullah berkata : “Manusia yang paling lembut hatinya adalah mereka yang paling sedikit dosa-dosanya.” [az Zuhud lil Imam Ahmad, 641]


-----------------------------------------------------------


20



Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [19]

Ibnu Simak rahimahullah berkata : “Hasrat seorang yang berakal adalah memperoleh keamanan dan keselamatan diri. Adapun hasrat seorang yang dungu adalah mencari hiburan dan bersenang-senang.” [Tahdzib as Siyar, 2/76]


-----------------------------------------------------------


19


Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [18]

Al Hasan al Bashri rahimahullah berkata : “Barangsiapa yang cinta terhadap dunia dan dibahagiakan olehnya, maka hilanglah dari hatinya rasa takut dia terhadap akherat.”


[Mausu’ah Ibnu Abid Dunya, 5/40


-----------------------------------------------------------



18

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [17]

Ibnu Rajab rahimahulla berkata : “Bagaimana air mata mukmin tidak mengalir karena berpisah dengan bulan Ramadhan, sebab dirinya tidak tahu apakah masih tersisa umurnya untuk bisa kembali lagi padanya?!”


[Lhatahiful Ma’arif, 1/217]


-----------------------------------------------------------


17


Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [16]

Mutharrif rahimahullah berkata : “Sesungguhnya fitnah itu datang bukanlah untuk membimbing manusia, akan tetapi dia datang hanyalah ingin menjauhkan orang yang beriman dari agamanya. Jika aku ditanya oleh Allah : “Kenapa kau tidak membunuh si Fulan? Maka lebih aku sukai daripada aku ditanya: “Kenapa kau membunuh si Fulan?”


[Tahdzib al Hilyah, 1/363]


-----------------------------------------------------------


16

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [15]

Abu Zur’ah bin Amer bin Jarir rahimahullah berkata : “Tidaklah dua insan yang saling mencintai karena Allah, melainkan yang paling utama diantara mereka adalah yang paling cinta terhadap sahabatnya.”


[az Zuhud lil Imam Ahmad : 630]


-----------------------------------------------------------


 15

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [14]

Al Khalil bin Ahmad rahimahullah berkata : “Seorang tidaklah dapat mengetahui kesalahan gurunya hingga dia belajar kepada guru yang lainnya.”


[Tahdzib as Siyar, 2 7/3]


-----------------------------------------------------------


 14

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [13]

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata : “Apabila ada seorang wanita lewat di hadapanmu, maka pejamkanlah matamu sampai dia berlalu.”


[Mausu’ah Ibnu Abid Dunya,1/206]


Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata : “Menjaga pandangan itu lebih berat daripada menjada lisan.”


[Mausu’ah Ibnu Abid Dunya,1/204]


-----------------------------------------------------------


13


Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [12]

Ibnu Qa’nab rahimahullah ta’ala berkata : “Dahulu Ibnu ‘Aun rahimahulla tidak pernah marah. Jika dia dibuat marah oleh seseorang, maka beliau berkata kepada orang tersebut : ‘BAROKALLAHUFIIK’.”


[Tahdzib as Siyar, 1/445]


-----------------------------------------------------------


12

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [11]

Malik bin Dinar rahimahullah berkata : “Mengherankan, sudah tahu bahwa kematian menantinya dan kuburan sebagai tempat kembalinya, bagaimana bisa masih senang dengan dunia dan merasa enak hidup di dalamnya?”


[Shifatus Shofwah, 3/148]


-----------------------------------------------------------


 11

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [10]

Abdullah bin Ahmad rahimahullah berkata : “Aku serng mendengar ayahku (Imam Ahmad) berdoa (ketika sholat) sebelum salam, ‘Ya Allah sebagaimana Engkau telah jaga wajahku dari bersujud kepada selain-Mu, jagalah pula wajahku dari meminta-minta kepada selain-Mu.” 


[Shifatush Shofwah, 2/610]


-----------------------------------------------------------


 10

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [9]

‘Aun bin ‘Abdillah rahimahullah berkata : “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian (para sahabat) menjadikan untuk dunia dari sisa akhirat mereka, sedangkan kalian menjadikan untuk akhirat kalian dari sisa dunia kalian”.


[Shifatush Shofwah, 3/71]


-----------------------------------------------------------


 9

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [8]

Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata : “Orang mu’min sedikit bicara namun banyak beramal, sedangkan orang munafik banyak bicara namun sedikit beramal.”


[Tahdzib al Hilyah : 3/16]


-----------------------------------------------------------


 8

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [7]

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menangis ketika beliau sakit, kemudian beliau ditanya : “Apakah yang membuat engkau menangis? Beliau menjawab : “Bukanlah aku menangis karena (akan meninggalkan) dunia kalian ini, tetapi aku menangis karena jauhnya perjalanan, sedangkan perbekalanku sangat sedikit. Aku berada di dataran yang tinggi di atas surga dan neraka, sedangkan aku tidak tahu mana yang akan menjadi tempat tinggalku.”


[Mausu’ah Ibnu Abi Dunya, 9/344]


-----------------------------------------------------------


 7

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [6]

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata : “Aku membaca al Qur’an sambil merenunginya lebih aku cintai daripada membaca al Qur’an dengan cepat.”


[Shifatush Shofwah, 1/372]


-----------------------------------------------------------



 6

Saturday, August 16, 2014

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [5]

Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata : “Tidaklah sampai padaku satu hadist pun dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melainkan telah aku amalkan, walaupun hanya sekali.”


[Tahdzib as Siyar, 2/696]


-----------------------------------------------------------


5

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [4]

Naafi’ rahimahullah berkata :


“Bahwa Ibnu ‘umar dahulu selalu menghidupkan malamnya dengan sholat. Beliau berkata : “Apakah kita sudah masuk waktu sahur wahai Naafi’?” Aku jawab : “Belum”. Kemudian beliau kembali melanjutkan sholatnya. Kemudian beliau bertanya kembali : “Apakah kita sudah masuk waktu sahur wahai Naafi’?” maka aku jawab : “Iya’! kemudian beliau duduk sambil beristighfar dan berdoa sampai tiba waktu sholat shubuh.”


[Shifatush Shofwah, 1/273]


---------------------------------------------------------------------


4

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [3]

Imam Ahmad rahimahullah berkata :


“Dahulu jika mereka (kaum salaf) berpuasa, mereka duduk di masjid-masjid dan mengatakan : “Kami menjaga puasa kami dan kami tidak mengghibahi seorang pun serta tidak mengamalkan amalan yang dapat merusak puasa kami.”


[al Mughni, 4/447]


------------------------------------------------------------


3

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [2]

Dahulu Hammad bin Abi Sulaiman rahimahullah setiap hari menjamu buka puasa untuk lima puluh orang di Bulan Ramadhan. Dan jika tiba malam Iedul Fitri, beliau memberikan mereka masing-masing pakaian.


[Siyar A’lamin Nubala’, 5/238]


---------------------------------------------------------------


Gambar Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [2]


2

Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [1]

Berkata al ‘Alamah Muhammad bin ‘Ali Adam al Aithupi hafizhahullah :


ASY SYAIKH RABI’ adalah SYU’BAH pada masa ini. Maka orang-orang yang mencela beliau dan menyifati beliau dengan keras, maka ketahuilah bahwa beliau ada salaf-nya dalam hal ini dari para ‘ulama. Maka tidaklah memusuhi beliau kecuali orang-orang yang menyimpang.


------------------------------------------


*) Syu’bah adalah seorang ulama yang pertama kali memeriksa keadaan tokoh-tokoh Ahlul Hadist di IRAQ.


Gambar Silsilah : Aina Nahnu min Haaulai? [1]


1

Sunday, August 10, 2014

Pembahasan Ilmiyah Seputar Aqiqah (6)

بِسْم ِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ






PEMBAHASAN ILMIYAH SEPUTAR AQIQAH (Pertemuan 6)
POTONG RAMBUT BAYI




4Masalah: Potong rambut.


Para ulama sepakat atas sunnahnya potong rambut bayi pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Adapun dalil dari Ijma' ini hadits Samurah bin Jundub_radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


«كُلُّ غُلَامٍ رَهِينٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى»


"Setiap anak laki-laki tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh dan dicukur kepalanya serta diberi nama." [HR. Ahmad dan Ashhab Assunan kecuali At Tirmidzi, dishahihkan Syaikh Al Albani dan Syaikh Muqbil dalam kitabnya Ash Shahih Al Musnad no 454]


Dan juga sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam;


«وَمَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَتُهُ فَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى وَأَرِيقُوا عَنْهُ دَمًا»


"Kelahiran seorang anak itu harus disertai aqiqah, Hilangkan gangguannya (maksudnya cukurlah rambutnya) dan alirkanlah darah (sembelihlah hewan)." [HR. Ahmad dan Abu Dawud dari shahabat Salman bin Amir radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Syekh Al Albany]


Wednesday, August 6, 2014

Pembahasan Ilmiyah Seputar Aqiqah (5)

بِسْم ِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ






PEMBAHASAN ILMIYAH SEPUTAR AQIQAH (Pertemuan 5)
PEMBERIAN NAMA




4 Masalah: Hukum pemberian nama untuk bayi yang lahir?


Para ulama sepakat bahwa pemberian nama untuk bayi yang lahir adalah wajib, baik bayi laki-laki maupun perempuan. Ijma' tersebut dinukil oleh Ibnu Hazem dalam kitabnya Maratib Al Ijma' hal 154. Karena seseorang tidaklah dikenal dan bisa dibedakan dengan yang lainnya melainkan dengan nama. Nama pada seseorang merupakan alamat baginya. Pemberian nama untuk anak adalah hak atas bapak, bukan hak ibu. Tidak boleh seorang ibu menentang pemberian nama untuk anaknya yang diberikan oleh suaminya. Berkata Ibnul Qayyim_rahimahullah: "Ini adalah perkara yang disepakati diantara manusia" [Tuhfatul maudud hal 135]. Namun meskipun demikian, hendaknya suami mengajak musyawarah istri dalam pemberian nama yang pantas untuk anaknya. Jika ada perselisihan nanti dalam musyawarah, maka hak bapak lebih dikedepankan.


4 Masalah: Kapan nama untuk bayi diberikan?


Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini;


Pendapat pertama: Nama diberikan pada hari ketujuh, mereka berdalil dengan hadits Samurah bin Jundub_radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


« كُلُّ غُلَامٍ رَهِينٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى »


"Setiap anak laki-laki tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh dan dicukur kepalanya serta diberi nama." [HR. Ahmad dan Ashhab Assunan kecuali At Tirmidzi, dishahihkan Syaikh Al Albani dan Syaikh Muqbil dalam kitabnya Ash Shahih Al Musnad no 454]. Mereka juga berdalil dengan hadits 'Amr bin Syu'aib, hadits Ibnu 'Abbas, dan hadits Ibnu 'Umar, namun semuanya dha'if sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhuna Abdurrahman Al 'Adeny_hafizhahullah sisi kelemahannya dalam Syarh Ad Durari.


Pembahasan Ilmiyah Seputar Aqiqah (4)

بِسْم ِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ






PEMBAHASAN ILMIYAH SEPUTAR AQIQAH (Pertemuan 4)



4 Masalah: Apakah seorang perempuan yang mengalami keguguran disyariatkan melakukan aqiqah untuk anaknya?


Jawaban:


Dalam masalah ini dirinci menjadi dua hal:


Pertama: Apabila janin yang gugur telah ditiupkan padanya ruh padanya (yaitu janin sudah berumur 4 bulan) maka disyariatkan aqiqah untuknya, ini adalah pendapat yang kuat dari sekian pendapat. Karena janin tersebut telah dianggap sebagai manusia dan juga kalau kita lihat pada kenyataan secara keumuman pada usia tersebut bayi telah bergerak-gerak didalam rahim ibunya, dan apabila dia gugur pada usia tersebut maka dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan diharapkan nantinya akan menjadi pensyafa'at bagi orang tuanya pada hari kiamat nanti.


Kedua: Apabila janin itu gugur belum ditiupkan ruh (yaitu janin tersebut dibawah usia 4 bulan) maka tidak disyariatkan untuknya aqiqah karena janin tersebut belum bisa disebut sebagai manusia.


? Faidah:


Bayi lahir dalam keadaan hidup kemudian mati sebelum tanggal ketujuh dari hari kelahirannya maka pendapat jumhur para ulama dalam masalah ini adalah disyariatkan untuk bayi tersebut aqiqah. Apabila bayi lahir dalam keadaan hidup dan sampai pada hari ketujuhnya belum dilakukan aqiqah untuknya, maka pendapat jumhur para ulama adalah boleh dilakukan aqiqah pada hari kedelapanya atau setelahnya. Telah lewat pembahasan ini pada Pertemuan Kedua.


Pembahasan Ilmiyah Seputar Aqiqah (3) -REVISI-

بِسْم ِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

PEMBAHASAN ILMIYAH SEPUTAR AQIQAH (Pertemuan 3)

4 Masalah: Apakah boleh bagi seseorang menyembelih kambing dengan niat untuk aqiqah dan udhiyah (berkurban untuk 'iedul adha)?

Jawaban:

Para ulama dalam masalah ini berbeda pendapat, dan pendapat yang kuat dan terpilih adalah hal tersebut tidak sah, karena masing-masing merupakan ibadah yang saling terpisah, sehingga hendaknya seseorang menyembelih kambing untuk aqiqah sendiri dan untuk udhiyah sendiri. Ini adalah pendapat yang dipilih Syaikhuna Abdurrahman Al 'Adeny_hafidzahullah.

4 Masalah: Apakah dipersyaratkan dalam kambing untuk aqiqah sebagaimana dipersyaratkan dalam udhiyah dari sisi umur kambing dan juga bersih dari aib atau cacat?

Jawaban:

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, Jumhur ulama berpendapat bahwa hal itu dipersyaratkan seperti persyaratan dalam udhiyah, namun pendapat yang kuat dan terpilih adalah pendapat Adz Dzahiriyah, Ibnu Hazm, Al Imam Ash Shan'any dan Al Imam Asy Syaukany, yang mana mereka berpendapat bahwa kambing untuk aqiqah tidak dipersyaratkan sebagaimana kambing untuk udhiyah, karena tidak ada dalil yang menunjukan hal tersebut, sedangkan hukum syar'i harus dibangun dengan dalil yang shahih yang menunjukan hal tersebut. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhuna_hafizhahullah. Wallahu a'lam bishowab.

? Catatan:

Para ulama sepakat bahwa kambing aqiqah lebih utama yang gemuk dan tidak ada aib atau cacat padanya.

4 Masalah: Apakah sah apabila seseorang melaksanakan aqiqah bukan dengan kambing (seperti dengan sapi atau unta atau ayam)?

Jawaban:

Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, namun pendapat yang paling kuat dan terpilih adalah tidak sah, karena dari sekian dalil-dalil dalam permasalahan aqiqah hanya disebutkan kambing saja, dan juga tidak ternukilkan dari Nabi shallallahu 'alahi wasallam melakukan aqiqah dengan selain kambing, hal ini menunjukan bahwa sunnah aqiqah sahnya hanya dengan menyembelih kambing saja. Nabi shallallahu 'alahi wasallam bersabda:

« مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ »

“Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu tertolak." [HR. Al Bukhary-Muslim, dari shahabat 'Aisyah]

Dalam riwayat muslim:

« مَنْ عَمَلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ »

“Barangsiapa mengamalkan suatu perkara yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak." [HR. Muslim]

Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Adz Dzahiriyah dan sebagian ulama yang bemadzhab syafi'iyah, serta sebagian ulama tabi'in diantaranya adalah hafshah bintu 'Abdurrahman bin Abu Bakr Ash Shidiq, dan pendapat ini juga yang dipilih oleh Ibnul Mundzir, Syaikh Al Albany, Syaikhuna Abdurrahman Al 'Adeny_hafizhahullah dan Al Lajnah Ad Daimah yang diketuai oleh Syaikh Bin Baz.

Pembahasan Ilmiyah Seputar Aqiqah (2)

بِسْم ِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ






PEMBAHASAN ILMIYAH SEPUTAR AQIQAH (Pertemuan 2)



4 Masalah : Apakah hari ketujuh (untuk pelaksanaan aqiqah) dalam hadits Samurah bin Jundub dihitung dari hari kelahiran ataukah dari hari keesokannya?


Jawaban:


Dalam masalah ini ada dua pendapat, sebagian ulama berpendapat bahwa hari ketujuh dihitung dari keesokan harinya yaitu hari kelahiran tidak dihitung, namun Jumhur ulama berpendapat bahwa hari ketujuh itu dihitung dari hari bayi dilahirkan, dan ini adalah pendapat yang benar sesuai dengan dzohir hadits Samuroh, karena dhomir Ha (يَوْمَ سَابِعِهِ) kembali pada hari bayi dilahirkan. Ini adalah pendapat yang diplih oleh Syekhuna Abdurrahman Al ‘Adeny.


Beliau berkata: Pendapat jumhur lebih kuat, bahwa hari kelahiran bayi dihtung sebagai hari pertama, oleh karena itu apabila bayi dilahirkan pada hari jumat maka aqiqah dilaksanakan pada hari kamis.


Hari jumat dimulai dari terbit fajar (shubuh) sampai terbenamnya matahari, apabila bayi dilahirkan sebelum terbit fajar pada hari jumat maka aqiqah disyariatkan pada hari kamisnya. Apabila bayi dilahirkan hari jumat setelah maghrib maka aqiqah disyariatkan pada hari jumat, karena hari itu dimulai dari terbitnya fajar. Apabila dilahirkan sebelum fajar maka dianggap seakan-akan dilahirkan setelah fajar dan apabila dia lahir setelah maghrib maka dianggap seakan-akan lahir pada hari setelah maghrib (yaitu hari keesokan harinya) karena hari itu dimulai dari terbit fajar dan berakhir dengan terbenamnya matahari, adapun antara maghrib sampai terbit fajar maka itu disebut malam (malam tersebut dianggap milik hari keesokannya).


4 Masalah: Apakah boleh melakukan aqiqah sebelum hari ketujuh atau setelahnya?


Jawaban:


Para ulama dalam masalah ini juga ada dua pendapat, namun pendapat yang paling kuat dan terpilih dalam permasalahan ini adalah pendapat Jumhur ulama, yang mana hal itu sah-sah saja, dengan dalil keumuman hadits Salman bin 'Amir Adh Dhabby, bahwa nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


« مَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَةٌ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى »


"Anak yang lahir harus disertai aqiqahnya, Alirkanlah darah (sembelihlah kambing) dan hilangkan gangguannya (cukur rambutnya)." [HR. Al Bukhary]


Dan juga bahwa aqiqah itu adalah ibadah disyariatkan dalam rangka kelahiran seorang bayi, dan adapun penyebutan hari ketujuh pada hadits Samurah dibawa kepada afdhaliyah atau sunnah.

Pembahasan Ilmiyah Seputar Aqiqah (1)

بِسْم ِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ






PEMBAHASAN ILMIYAH SEPUTAR AQIQAH (Pertemuan 1)



Al Aqiqah adalah hewan kurban yang disembelih untuk bayi yang baru lahir dalam rangka pendekatan diri kepada Allah ta’ala dan sebagai wujud rasa syukur atas kenikmatanNya. Penamaan Aqiqah diambil dari rambut yang berada di atas kepala bayi. Dinamakan Aqiqah karena hewan yang disembelih bertepatan pada hari dimana rambut bayi tersebut dipotong.


Aqiqah merupakan ibadah yang disyariatkan dalam islam, namun para ulama berbeda pendapat dari sisi hukumnya:


Pendapat pertama: mengatakan wajib, ini dalah pendapat yang dipilih oleh Abu Zinad, Al Laits, Adz Dzohiriyah, Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, dan sebagian ulama yang bermazhab Al Hanabilah, mereka berdalil dengan hadits-hadits yang didalamnya terkandung perintah aqiqah, seperti sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam:


وَمَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَتُهُ فَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى وَأَرِيقُوا عَنْهُ دَمًا


"Kelahiran seorang anak itu harus disertai aqiqah, Hilangkan gangguannya (maksudnya cukurlah rambutnya) dan alirkanlah darah (sembelihlah hewan)." [HR. Ahmad dan Abu Dawud dari shahabat Salman bin Amir radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Syekh Al Albany]


Dan juga berdalil dengan hadits:


كُلُّ غُلَامٍ رَهِينٌ بِعَقِيقَتِهِ


"Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya” [HR. Ashab Assunan dari shahabat Samurah bin Jundub, dishahihkan oleh Syekh Al Albany dan Syekh Muqbil_rahimahumallohu ta’ala]


Pendapat kedua: Aqiqah bukan hal yang disunnahkan, ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ashab Ar Ro'y, mereka berdalil dengan hadits 'Amr bin Syu'aib dari bapaknya dan bapaknya dari kakeknya:


« سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْعَقِيقَةِ فَقَالَ لَا أُحِبُّ الْعُقُوقَ »


"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam ditanya tentang Aqiqah, maka beliau bersabda: Sesungguhnya aku tidak suka dengan kedurhakaan” [HR. Ahmad, Abu Dawud dan lainnya, dishahihkan oleh Syekh Al Albany]


Kalau kita lihat kelengkapan hadits ini, justru menjadi hujjah atas mereka;


فقال: لَا أُحِبُّ الْعُقُوقَ وَمَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَفْعَلْ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ


"Sesungguhnya aku tidak suka dengan kedurhakaan, barangsiapa mendapatkan kelahiran anak kecil dan ingin menyembelih atas anak tersebut hendaknya ia laksanakan, dua ekor kambing yang sama untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan."


Didalam riwayat Abu Dawud menunjukan bahwa yang tidak disukai Rasulullah adalah penamaannya yaitu “Aqiqah” bukan pelaksanaan acara aqiqahnya, karena lafadz hadits setelahnya menunjukan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam menganjurkan pelaksanaan aqiqah.


Ringkasan Seputar Zakat Al Maal (Bagian Kedua)




Ringkasan Seputar Zakat Al Maal (Bagian Kedua)



JENIS HARTA YANG WAJIB DIZAKATI:




  1. Emas.

  2. Perak

  3. Uang.

  4. Binatang Ternak (Kambing, Sapi dan Onta).


--------------------------------------------------------------

Adapun Harta atau barang dagangan, para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Insya Allah akan dibahas dalam masalah yang terpisah.


4CARA PERHITUNGAN KADAR ZAKAT YANG WAJIB




  1. Emas dan Perak; dalil yang menunjukan bahwa emas dan perak termasuk harta yang harus dizakati adalah firman Allah ta’ala:


وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ


“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” [QS. At Taubah: 34].


Dan hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


"Siapa yang mempunyai emas dan perak, tetapi dia tidak membayar zakatnya, maka di hari kiamat akan dibuatkan untuknya seterika api yang dinyalakan di dalam neraka, lalu diseterikakan ke perut, dahi dan punggungnya. Setiap seterika itu mendingin, maka akan dipanaskan kembali lalu diseterikakan pula padanya setiap hari -sehari setara lima puluh tahun (di dunia) - hingga perkaranya diputuskan.”[HR. Muslim].


- Nishab Emas: 20 Mitsqal, yaitu senilai 85 gram emas. Sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Al ‘Utsaimin dan Syekhuna ‘Abdurrahman.


Dinukilkan oleh An Nawawy dan juga Ibnu Qudamah bahwa para ulama telah ijma’ (sepakat) bahwa nishab emas adalah 20 mitsqal. Maka barangsiapa memiliki emas sebanyak 85 gram atau lebih yang menetap dalam kepemilikannya selama setahun maka wajib bagi dia mengeluarkan zakatnya. Adapun yang memiliki emas kurang dari 85 gram maka tidak wajib atas dia mengeluarkan zakatnya. Apabila kita memilki emas sebanyak 85 gram atau lebih, maka zakat yang kita keluarkan dari emas tersebut 2,5 persennya atau dengan dibagi 40.


Contohnya; misalnya kita memiliki emas sebanyak 120 gram, kemudian emas tersebut kita bagi 40, maka akan menghasilkan bilangan 3. Berarti zakat yang harus kita keluarkan dari emas 120 gram tersebut adalah 3 gram emas.


Ringkasan Seputar Zakat Al Maal (Bagian Pertama)




Ringkasan Seputar Zakat Al Maal (Bagian Pertama)



4Muqaddimah


Zakat secara bahasa bermakna tumbuh dan bertambah. Adapun secara syar’i adalah hak yang wajib pada harta tertentu, untuk orang-orang tertentu, dikeluarkan pada masa tertentu. [lihat syarhul mumthi’ jilid 1 hal 321]


4Hukum membayar zakat:


Membayar zakat adalah wajib dan termasuk dari rukun islam yang ketiga, sebagaimana yang ditunjukan dalam Al Qur’an, As Sunnah dan Al Ijma’.


Allah ta’ala berfirman:


خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا….


“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” [QS. At Taubah: 103].


Allah juga berfirman:


وَآتُواْ الزَّكَاةَ


“Dan tunaikanlah zakat” [QS. Al Baqoroh: 43].


Adapun dari Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hadits Ibnu ‘Abbas, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz bin Jabal, beliau bersabda kepadanya:


أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ…


“Bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat di dalam harta yang dipungut dari orang kaya mereka dan dikembalikan (diberikan) kepada orang-orang fakir mereka” [Muttafaqun ‘alaihi].


Tuesday, August 5, 2014

Fatawa Ringkas Seputar I'tikaf : bagian 6 (akhir)

Bersama : Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni hafidzahullah (Bagian Keenam/Terakhir)









SAFAR DENGAN TUJUAN UNTUK I'TIKAF

12. Bolehkan melakukan safar dalam rangka I'tikaf?


Jawab: Hal ini tidaklah diperbolehkan, tidak boleh bagi seseorang melakukan safar ke suatu tempat yang khusus dalam rangka untuk ibadah atau mencari berkah, kecuali tiga masjid saja; Masjidil Haram, Masjid An Nabawi dan masjid Al Aqsha.


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى»


"Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah melakukan perjalanan (dalam rangka ibadah) kecuali pada tiga masjid; Masjidil Haram, Masjid Rasul shallallahu 'alaihi wasallam dan Masjidil Aqsha." [Muttafaqun 'alaihi]


WALLOHU A'LAM BISH SHOWAAB









?ditulis oleh  Abu 'Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawi, 18 Ramadhan 1435/ 15 juli 2014_di Darul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah.

Fatawa Ringkas Seputar I’tikaf : bagian 5

Bersama : Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni hafidzahullah (Bagian Lima)






LAMANYA I'TIKAF



9. Berapa lamakah waktu I'tikaf?


Jawab: Para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan banyaknya hari beri'tikaf, bisa empat hari, sepuluh hari, dua puluh hari ataupun satu bulan penuh. Adapun terkait paling sedikitnya waktu I'tikaf terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama, namun pendapat yang kuat dan terpilih tidak ada batasannya, karena pembatasan waktu sedikitnya I'tikaf butuh adanya dalil yang menunjukan hal tersebut. Meskipun demikian yang lebih utama hendaknya dia beri'tikaf tidak kurang dari semalam, dengan dalil perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan juga hadits Umar radhiyallahu 'anhu, ia berkata;


"يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، قَالَ: «فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ»"


"Wahai Rasulullah, sesungguhnya ketika masih Jahiliyyah aku pernah bernadzar untuk beri'tikaf semalam di Masjidil Haram." Beliau bersabda: "Tunaikanlah nadzarmu." [Muttafaqun 'alaihi]


Waktu I'tikaf lebih utama dilakukan pada sepuluh malam terakhir dari bulan ramadhan.


10. Apakah dipersyaratkan berpuasa ketika melakukan ibadah I'tikaf?


Jawab: tidak dipersyaratkan berpuasa ketika melakukan ibadah I'tikaf dengan keumuman firman Allah;


{وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}


"Sedang kamu beri'tikaf dalam masjid." [QS. Al Baqarah: 187]

Fatawa Ringkas Seputar I'tikaf : bagian 3

Bersama : Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni hafidzahullah (Bagian Tiga)






TUJUAN IBADAH I'TIKAF



7. Apakah tujuan dari ibadah I'tikaf?


Jawab: Ibadah I'tikaf disyariatkan dengan tujuan agar orang yang melakukan ibadah I'tikaf lebih konsentrasi dan menyendiri dalam memperbanyak beribadah kepada Allah Ta'ala, baik dengan bentuk shalat, membaca Al Qur'an dan menghayatinya, memperbanyak berdzikir, merenungi segala apa yang telah dia perbuat (di dunia), bertaubat, beristighfar, membaca kitab para ulama, introspeksi diri. Hendaknya seorang yang melakukan I'tikaf menjauhi perkara-perkara dunia dan hal-hal yang akan menyibukan dia dari ibadah kepada Allah.


Jika kita telah tahu tujuan ini, maka hendaknya seorang yang melakukan ibadah ini bersemangat untuk menyendiri dan mempersedikit berbicara dengan manusia, karena demikianlah yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para salaf, karena ibadah I'tikaf merupakan kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tidak seperti kebanyakan orang-orang sekarang, mereka jika melakukan I'tikaf lebih banyak ngobrol, kumpul-kumpul, bergadang, tertawa dan bercanda, bahkan ada yang jatuh dalam perkara-perkara yang Allah haramkan seperti ghibah dan gosip. Kalian dapatkan kebanyakan orang-orang yang melakukan I'tikaf tidak paham dan mengerti hak-hak ibadah I'tikah yang harus mereka tunaikan dan juga tujuan disyariatkannya I'tikaf.


Wahai saudaraku!


Ibadah I'tikaf bukanlah ibarat penampilan, pameran atau bentuk seperti itu. Tidak! Ibadah I'tikaf adalah yang mana seorang hamba memanfaatkannya untuk menyendiri dan lebih berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah. Tidak mengapa berbicara dalam perkara yang mubah dengan manusia, namun hal itu dilakukan kadang-kadang saja, sebagaimana hal ini dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.


عَنْ صَفِيَّةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ، فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ، فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً، ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ، وَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْلِبُهَا.


"Dari Shafiyyah istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; ia datang untuk mengunjungi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam masa-masa i'tikaf Beliau di masjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Dia berbicara sejenak dengan Beliau lalu dia berdiri untuk pulang. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun berdiri untuk mengantarnya." [Muttafaqun 'alaihi]


Dalam hadits ini menunjukan bahwa berbicara dalam perkara yang mubah ketika sedang I'tikaf diperbolehkan, namun hal ini dilakukan kadang-kadang saja, karena tujuan asal ibadah I'tikaf adalah dia berusaha menjauhi dan menyendiri dari manusia untuk bisa mengambil faedah dari ibadah ini.


Fatawa Ringkas Seputar I'tikaf : bagian 4

Bersama : Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni hafidzahullah (Bagian Empat)






TEMPAT DILAKUKANNYA IBADAH I'TIKAF



5. Dimanakah dilakukan ibadah I'tikaf?


Jawab: Ibadah I'tikaf dilakukan di masjid, baik didalam, di teras ataupun di atap masjid. Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala;


{وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}


"(tetapi) Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid." [QS. Al Baqarah: 187]


Dan juga perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabat;


عَنْ صَفِيَّةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ، فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ، فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ.


"Dari Shafiyyah istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; ia datang untuk mengunjungi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam masa-masa i'tikaf Beliau di masjid pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan." [Muttafaqun 'alaihi]


Tidak sah ibadah ini dilakukan diluar masjid.


Fatawa Ringkas Seputar I'tikaf : bagian 2

Bersama : Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni hafidzahullah (Bagian Dua)






DIMULAI DAN DIAKHIRINYA IBADAH I'TIKAF



3. Kapan seorang yang ingin melakukan ibadah I'tikaf mulai masuk masjid?


Jawab: Jika ia ingin beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan maka dia masuk masjid sebelum matahari terbenam dari malam dua puluh satu, karena sepuluh hari terakhir dimulai dari terbenamnya matahari dari malam dua puluh satu.


Adapun hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata;


«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ، وَإِذَا صَلَّى الغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِي اعْتَكَفَ فِيهِ»


"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selalu beri'tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai dari shalat Shubuh Beliau masuk ke tempat khusus i'tikaf Beliau." [HR. Al Bukhari]


Hadits ini tidaklah menunjukan bahwa I'tikaf dimulai setelah shalat shubuh. Tidak! tetapi hadits ini menunjukan bolehnya membuat tenda untuk dia beri'tikaf dengan syarat tidak mengganggu dan mempersempit tempat shalat jama'ah. Kedua hadits ini menunjukan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika beri'tikaf, jika selesai shalat bersegera masuk ke dalam tendanya, hal ini diluar kebiasaan beliau. Kebiasaan beliau diluar I'tikaf, jika setelah shalat beliau duduk lama di tempat beliau shalat, terus berdzikir sampai matahari naik. Adapun di hari-hari I'tikaf beliau setelah shalat langsung masuk ke dalam tendanya.


Fatawa Ringkas Seputar I'tikaf : bagian 1

Bersama : Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni hafidzahullah (Bagian Satu)






HUKUM I'TIKAF



1. Apakah I'tikaf disyariatkan dalam Islam?


Jawab: I'tikaf termasuk ibadah yang agung, yang mana Allah telah mensyariatkan semenjak dahulu di zaman Nabi Ibrahim dan Isma'il 'alaihimash shalaatu wassalam. Allah Ta'ala berfirman;


{وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ}


"Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud." [QS. Al Baqarah: 125]


Ibadah agung ini telah diamalkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan juga para shahabatnya. Allah Ta'ala berfirman;


{وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}


"(tetapi) Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid." [QS. Al Baqarah: 187]


Dalam hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata;


أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ، حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ»


"Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beri'tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari bulan Ramadhan hingga wafatnya, kemudian isteri-isteri Beliau beri'tikaf setelah kepergian Beliau." [Muttafaqun 'alaihi]