Wednesday, August 6, 2014

Pembahasan Ilmiyah Seputar Aqiqah (1)

بِسْم ِاللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ









PEMBAHASAN ILMIYAH SEPUTAR AQIQAH (Pertemuan 1)

Al Aqiqah adalah hewan kurban yang disembelih untuk bayi yang baru lahir dalam rangka pendekatan diri kepada Allah ta’ala dan sebagai wujud rasa syukur atas kenikmatanNya. Penamaan Aqiqah diambil dari rambut yang berada di atas kepala bayi. Dinamakan Aqiqah karena hewan yang disembelih bertepatan pada hari dimana rambut bayi tersebut dipotong.


Aqiqah merupakan ibadah yang disyariatkan dalam islam, namun para ulama berbeda pendapat dari sisi hukumnya:


Pendapat pertama: mengatakan wajib, ini dalah pendapat yang dipilih oleh Abu Zinad, Al Laits, Adz Dzohiriyah, Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya, dan sebagian ulama yang bermazhab Al Hanabilah, mereka berdalil dengan hadits-hadits yang didalamnya terkandung perintah aqiqah, seperti sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam:


وَمَعَ الْغُلَامِ عَقِيقَتُهُ فَأَمِيطُوا عَنْهُ الْأَذَى وَأَرِيقُوا عَنْهُ دَمًا


"Kelahiran seorang anak itu harus disertai aqiqah, Hilangkan gangguannya (maksudnya cukurlah rambutnya) dan alirkanlah darah (sembelihlah hewan)." [HR. Ahmad dan Abu Dawud dari shahabat Salman bin Amir radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Syekh Al Albany]


Dan juga berdalil dengan hadits:


كُلُّ غُلَامٍ رَهِينٌ بِعَقِيقَتِهِ


"Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya” [HR. Ashab Assunan dari shahabat Samurah bin Jundub, dishahihkan oleh Syekh Al Albany dan Syekh Muqbil_rahimahumallohu ta’ala]


Pendapat kedua: Aqiqah bukan hal yang disunnahkan, ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ashab Ar Ro'y, mereka berdalil dengan hadits 'Amr bin Syu'aib dari bapaknya dan bapaknya dari kakeknya:


« سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْعَقِيقَةِ فَقَالَ لَا أُحِبُّ الْعُقُوقَ »


"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam ditanya tentang Aqiqah, maka beliau bersabda: Sesungguhnya aku tidak suka dengan kedurhakaan” [HR. Ahmad, Abu Dawud dan lainnya, dishahihkan oleh Syekh Al Albany]


Kalau kita lihat kelengkapan hadits ini, justru menjadi hujjah atas mereka;


فقال: لَا أُحِبُّ الْعُقُوقَ وَمَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَفْعَلْ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ


"Sesungguhnya aku tidak suka dengan kedurhakaan, barangsiapa mendapatkan kelahiran anak kecil dan ingin menyembelih atas anak tersebut hendaknya ia laksanakan, dua ekor kambing yang sama untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan."


Didalam riwayat Abu Dawud menunjukan bahwa yang tidak disukai Rasulullah adalah penamaannya yaitu “Aqiqah” bukan pelaksanaan acara aqiqahnya, karena lafadz hadits setelahnya menunjukan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam menganjurkan pelaksanaan aqiqah.



Pendapat ketiga: Aqiqah hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang ditekankan pelaksanaannya), ini adalah pendapat jumhur ulama,  mereka berdalil dengan hadits-hadits yang didalamnya terdapat anjuran untuk aqiqah, adapun dalil-dalil yang berisi perintah telah dipalingkan kepada sunnah muakkadah dengan hadits 'Amr bin Syu'aib dari bapaknya dan bapaknya dari kakeknya:


مَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ


"Siapa di antara kalian yang ingin menyembelih untuk anaknya, hendaknya ia kerjakan” [HR. Ahmad, Abu Dawud dan lainnya]. Hadits ini menunjukan adanya anjuran dan pilihan, tidak menunjukan suatu kewajiban yaitu barangsiapa yang tidak ingin melaksanakan aqiqah maka tidaklah berdosa.


Wallohu a'lam dari ketiga pendapat di atas maka pendapat yang kuat dan terpilih adalah pendapat ketiga, bahwa hukum aqiqah adalah sunnah muakkadah, dan pendapat ini juga yang dipilih oleh Syekhuna Abdurrohman Al ‘Adeny – hafidzahulloh ta’ala.


4 Catatan:


Berkata Syekhuna Abdurrahman Al ‘Adeny hafidzahullah ta’ala: "Tidak mengapa kalau seseorang berhutang dalam rangka melakukan sunnah aqiqah anaknya, apabila dia bersungguh-sungguh dalam melunasi hutangnya maka Allah akan membantunya, berkata Al Imam Ahmad - rohimahulloh: "Barangsiapa tidak memiliki uang untuk hal tersebut (aqiqah) kemudian dia berhutang maka aku berharap semoga Allah ta'ala membantu melunasinya karena dia telah menegakkan sunnah". Pelaksanaan aqiqah itu lebih utama daripada bershadaqah dengan uang seharga kambing aqiqah, karena pada aqiqah terdapat padanya pahala shadaqah dan wujud rasa syukur dan penebusan (karena bayi yang baru lahir ibarat sesuatu yang tergadaikan yang ditebus dengan aqiqah sebagiamana yang telah lalu penjelasannya).


Masalah: Berapa jumlah kambing yang disembelih untuk bayi laki-laki dan bayi perempuan dalam pelaksanaan aqiqah?


Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:


Pendapat pertama: Pendapat jumhur ulama, mereka berpendapat bahwa untuk bayi laki-laki 2 ekor kambing dan perempuan 1 ekor kambing. Dalilnya adalah hadits Ummu Kurz Al Ka'biyyah berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:


« عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ »


"Untuk anak lelaki dua ekor kambing yang sama, dan anak perempuan seekor kambing." [HR. Ahmad, At Tirmidzy, Ibnu Hibban dan dishohihkan oleh Syekh Al Albany – raimahullah]


Alloh ta'ala telah memberikan kekhususan pada laki-laki sesuatu yang tidak ada pada perempuan, Alloh berfirman:


وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى


“dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” [QS. Ali ‘Imron: 36]


فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ


"maka bagian (warisan) seorang saudara laki-laki sebanyak bagian (warisan) dua orang saudara perempuan” [QS. An Nisa:176]


Perempuan diberikan hukum setengahnya hukum laki-laki seperti dalam permasalahan persaksian, diyat (harta tebusan/denda), warisan, aqiqah dan yang lainnya.


Dan diantara hikmah disyariatkan 2 ekor kambing untuk bayi laki-laki disebabkan pula karena kelahiran bayi laki-laki mendatangkan kebahagiaan yang lebih disisi kedua orang tuanya dari pada bayi perempuan.


Pendapat Kedua: Pendapat sebagian ulama seperti Al Hasan Al Bashri dan Qotadah, mereka berpendapat bahwa untuk bayi perempuan tidak disyariatkan aqiqah untuknya. Namun pendapat ini adalah pendapat yang tertolak dan terbantahkan dengan dalil-dalil yang menyebutkan bahwa aqiqah disyariatkan untuk bayi laki-laki dan bayi perempuan.


Pendapat Ketiga: Pendapat Imam Malik, beliau berpendapat bahwa bayi laki-laki dan bayi perempuan sama-sama 1 ekor kambing, berdalil dengan hadits Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata:


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا


“Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyembelih aqiqah untuk Al Hasan dan Al Husain satu domba, satu domba." [HR. Abu Dawud dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma]


Dikatakan oleh Abu Hatim rahimahullah bahwa sanad hadits ini mursal, sehingga dihukumi sebagai hadits yang dho’if (lemah). Yang shohih dari sekian riwayat adalah tanpa penyebutan jumlah kambing yang disembelih untuk Al Hasan dan Al Husain.


Oleh karena itu maka pendapat yang kuat dalam permasalahan ini adalah pendapat jumhur ulama, bahwasanya sunnah aqiqah tidaklah terpenuhi kecuali dengan menyembelih 2 ekor kambing untuk bayi laki-laki dan 1 ekor kambing untuk bayi perempuan, ini juga pendapat yang dipilih oleh Imam Asy Syaukany – rahimahulloh".


Jika memang tidak mampu maka boleh baginya menyembelih satu kambing. Alloh berfirman:


فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ


“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” [QS. Ath Thaghabun: 16]


Berkata Syekuna Abdurrahman Al ‘Adeny_hafidzahullah ta’ala:


Disunnahkan pada 2 ekor kambing yang disembelih untuk bayi laki-laki, nilainya saling berdekatan baik dalam sisi umurnya atau dalam kualitasnya.




  • Dalam aqiqah dipersyaratkan bahwa kambing itu harus disembelih, maka barangsiapa sekedar membeli daging walaupun seharga kambing, terus diniatkan untuk aqiqah maka tidaklah sah.

  • Apabila kedua orang tua bayi tidak memiliki kemampuan dalam melaksanakan aqiqah maka tidaklah mengapa, Alloh ta'ala berfirman:


فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ


“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” [QS. Ath Thaghabun: 16]


لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا


Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” [QS. Al Baqarah: 286]


Dan juga sebagaimana telah lewat pembahasannya bahwa hukum aqiqah adalah sunnah muakkadah.


Masalah: Aqiqah adalah hak anak terhadap orang tuanya, apakah sah apabila pamannya atau orang lain yang melakukan aqiqah untuk anaknya?


Jawabannya: Dalam permasalahn ini para ulama juga berbeda pendapat, namun pendapat yang kuat dan terpilih dalam permasalahan ini adalah aqiqah tetap sah jika dilakukan oleh selain orang tuanya, ini adalah pendapat yang dipilih oleh jama'ah para ulama diantaranya Al Imam Ash Shan'any, Al Imam Asy Syaukany, dan juga Syekhuna Abdurrahman Al ‘Adeny,  dalil mereka adalah telah datang dalam beberapa riwayat hadits berlafadz:


تُذْبَحُ عَنْهُ


“Disembelihkan (kambing) untuknya” [HR. Ahmad, Abu Dawud dan yang lainnya dan dishohihkan oleh Syekh Al Albany dan Syekh Muqbil_rahimahumallah]


Hadits ini menunjukan bahwasanya aqiqah untuk bayi apabila dilakukan oleh selain orang tuanya maka tetap sah. Dan juga telah ditunjukan dalam hadits Ibnu 'Abbas bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam melakukan aqiqoh untuk Al Hasan dan Al Husain (keduanya adalah cucu beliau), dalam hadits ini juga menunjukan bahwa aqiqah untuk bayi tetap sah walaupun bukan orang tuanya yang melakukannya.


Insya Alloh kita lanjutkan pembahasan permasalahan seputar aqiqah ini pada pertemuan berikutnya. Semoga Alloh ta'ala selalu memberikan kita taufiq untuk selalu mempelajari agama ini berdasarkan Al Qur'an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah (para shahabat).









ditulis oleh Abu ‘Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy_6 Muharam 1435 H/9 Nov 2013_di Darul Hadits Al Fiyusy_Harasahallah.

No comments:

Post a Comment