Tuesday, July 29, 2014

Fatawa Ringkas Seputar Puasa : bagian 31

Bersama : Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni hafidzahullah (Bagian Ketiga Puluh Satu/terakhir)






SEPUTAR PUASA WANITA HAMIL DAN MENYUSUI



93. Bagaimanakah hukum wanita hamil dan menyusui?


Jawab: Ada beberapa keadaan :




  • Pertama: Apabila keduanya kuatir madarat atas dirinya jika berpuasa.


Boleh bagi keduanya untuk tidak berpuasa, namun wajib bagi keduanya mengqadha, tanpa harus membayar fidyah. Para ulama sepakat dalam masalah ini. Ijma' ini dinukilkan oleh Ibnu Qudamah, An Nawawi dan yang lainnya.




  • Kedua : Apabila keduanya kuatir madarat atas dirinya dan juga atas anaknya atau kuatir atas anaknya saja jika berpuasa.


Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Pendapat yang terpilih adalah wajib bagi keduanya mengqadha saja, tanpa harus membayar fidyah. Ini adalah pendapat 'Athaa, 'Ikrimah, Al Hasan, Adh Dhahak, An Nakha'i, Az Zuhri, Rabii'ah, Al Auza'i, Abu Hanifah, Ats Tsauri, Abu 'Ubaid, Abu Tsaur, Ibnul Mundzir, Al hasan bin Hay, Asy Syafi'i dalam salah satu pendapatnya. Pendapat ini telah diriwayatkan oleh Abdurrazaq dengan sanad yang shahih dari Ibnu 'Abbas. Dinisbahkan pula (pendapat ini) kepada Ali bin Abi Thalib. Pendapat ini dipilih oleh Al Imam Al Bukhari.


Dalil pendapat ini hadits Anas bin Malik Al Ka'bi radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda;


«إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ شَطْرَ الصَّلَاةِ أَوْ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ عَنْ الْمُسَافِرِ وَعَنْ الْمُرْضِعِ أَوْ الْحُبْلَى»


"Sesungguhnya Allah ta'ala telah menggugurkan setengah shalat serta puasa dari seorang musafir, wanita yang menyusui dan wanita yang hamil." [HR. Ahmad dan Ashab As Sunan, dishahihkan Syaikh Al Albani dan Syaikh Muqbil]

Fatawa Ringkas Seputar Puasa : bagian 30

Bersama : Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni hafidzahullah (Bagian Ketiga Puluh)






SEPUTAR ORANG SAKIT YANG TIDAK BISA DIHARAPKAN LAGI KESEMBUHANNYA DAN PUASANYA ORANG TUA YANG TIDAK MAMPU LAGI BERPUASA



89. Bagaimanakah hukum orang yang sakit yang sudah tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya, demikian pula orang yang sudah tua yang tidak mampu lagi berpuasa?


Jawab: Ini adalah jenis sakit yang kedua:


Kedua: Sakit yang sudah tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya.


Untuk jenis ini maka sudah tidak diwajibkan lagi bagi mereka berpuasa. Para ulama sepakat dalam masalah ini. Namun wajib bagi mereka membayar fidyah. Demikian pula orang yang sudah tua yang tidak mampu lagi berpuasa.


90. Bagaimana jika mereka tidak mampu pula untuk membayar fidyah?


Jawab: Jika mereka memang tidak mampu membayar fidyah maka tidak ada kewajiban lagi atas mereka. Ini adalah pendapat sekelompok ulama. Dalil mereka;


{لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا}


"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." [QS. Al Baqarah; 286]


Hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda;


« وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»


"Dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian." [Muttafaqun 'alaihi]

Fatawa Ringkas Seputar Puasa : bagian 29

Bersama : Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni hafidzahullah (Bagian Kedua Puluh Sembilan)






SEPUTAR ORANG SAKIT DI BULAN RAMADHAN  (3)



87. Bagaimanakah hukum orang yang sakit yang masih bisa diharapkan kesembuhannya?


Jawab: Sakit ada dua jenis;


Pertama : Sakit yang masih bisa diharapkan kesembuhannya.


Untuk jenis sakit ini boleh baginya tidak berpuasa, namun wajib baginya mengqadha pada hari-hari yang lain.


{وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}


"Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." [QS. Al Baqarah: 185]


Fatawa Ringkas Seputar Puasa : bagian 28

Bersama : Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni hafidzahullah (Bagian Kedua Puluh Delapan)






SEPUTAR ORANG SAKIT DI BULAN RAMADHAN  (2)



85. Seseorang dikuasai oleh rasa haus atau lapar yang sangat, sampai-sampai kuatir pada dirinya akan terjatuh kepada kebinasaan, apakah yang wajib dia lakukan?


Jawab : Wajib baginya berbuka puasa, meskipun keadaanya sehat dan tidak dalam keadaan safar. Dalil dalam masalah ini firman Allah Ta'ala;


{وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا}


"Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." [QS. An Nisaa; 29]


{وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ}


"dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan …" [QS. Al Baqarah; 195]


{فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ}


"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu." [QS: Ath Thaghaabun: 16]


Hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda;


« وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»


"dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian." [Muttafaqun 'alaihi]


Berkata Asy Syaukani rahimahullah: "Wajibnya berbuka puasa tatkala kuatir akan terjatuh kepada kebinasaan telah jelas dari kaedah-kaedah dalam syariat, baik secara umum maupun cabang-cabangnya dengan dalil-dalil yang telah lewat (penyebutannya), karena menyelamatkan diri merupakan perkara yang wajib. Seseorang tidaklah beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang dikuatirkan akan membinasakan jiwanya. Telah datang rukhshah (keringanan) untuk tidak berpuasa tatkala melakukan safar, karena padanya kelelahan dan kesusahan, maka bagaimana bisa sesuatu yang dikuatirkan bisa membinasakan diri tidak boleh padanya berbuka puasa?!.

Fatawa Ringkas Seputar Puasa : bagian 27

Bersama : Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni hafidzahullah (Bagian Kedua Puluh Tujuh)






SEPUTAR ORANG SAKIT DI BULAN RAMADHAN  (1)



82. Bolehkah seorang yang sakit tidak berpuasa?


Jawab : Para ulama sepakat bahwa orang yang sakit boleh baginya tidak berpuasa.


{وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ}


"Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." [QS. Al Baqarah: 185]


83. Apakah semua jenis orang yang sakit boleh tidak berpuasa?


Jawab : Orang yang sakit ada beberapa keadaan;


Pertama : Tidak mampu sama sekali berpuasa, bahkan jika berpuasa maka akan membahayakan keadaan dirinya atau menyebabkan kematiannya. Dalam keadaan seperti ini wajib bagi dia berbuka puasa dan haram baginya berpuasa.


{وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا}


"Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." [QS. An Nisaa; 29]


{وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ}


"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan …" [QS. Al Baqarah; 195]

Fatawa Ringkas Seputar Puasa : bagian 26

Bersama : Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni hafidzahullah (Bagian Kedua Puluh Enam)






SEPUTAR SAFAR DI BULAN RAMADHAN (6)



81. Jika seorang musafir dari Yaman melakukan perjalanan menuju ke Indonesia, ternyata dia mendapatkan rukyah hilal Iedul Fitri di negeri asalnya berbeda dengan negera Indonesia, apakah yang harus dia lakukan?


Jawab: Masalah ini ada empat keadaan :


Pertama : Di Yaman mulai berpuasa hari Ahad, kemudian rukyah hilal Iedul Fitri di Yaman hari Sabtu, sedangkan di Negara Indonesia mulai berpuasa hari Sabtu dan Iedul Fitri hari Ahad. Penduduk Indonesia telah berpuasa 29 hari, sedangkan terkait dengan dirinya baru berpuasa 28 hari. Wajib bagi dia berbuka bersama penduduk negeri tempat dia singgah dan wajib baginya mengqadha satu hari.


Dalil wajibnya dia berbuka karena telah terlihat hilal Iedul Fitri.


عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا»


"Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kamu melihatnya maka berpuasalah dan jika kamu melihatnya lagi maka berbukalah." [Muttafaqun 'alaihi]


Adapun dalil wajib baginya mengqadha karena bulan hijriyah tidak kurang dari 29 hari.


عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ»


"Dari 'Abdullah bin 'Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata; bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Satu bulan itu berjumlah dua puluh sembilan malam (hari)." [Muttafaqun 'alaihi]

Fatawa Ringkas Seputar Puasa : bagian 25

Bersama : Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni hafidzahullah (Bagian Kedua Puluh Lima)






SEPUTAR SAFAR DI BULAN RAMADHAN (5)



77. Apabila seorang musafir telah berpuasa, kemudian pada siang harinya ingin berbuka. Apakah hal ini diperbolehkan?


Jawab: Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam masalah ini, namun pendapat yang kuat dan terpilih adalah boleh baginya berbuka puasa, meskipun pada awalnya sudah berpuasa. Ini adalah pendapat Jumhur ulama.


Dalil mereka keumuman firman Allah Ta'ala;


{وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ}


"Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." [QS. Al Baqarah: 185]


Dan juga hadits Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata;


«أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ فِي رَمَضَانَ، فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ الْكَدِيدَ، ثُمَّ أَفْطَرَ»


"Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar pada tahun pembebasan kota Makkah di bulan Ramadhan, dan beliau berpuasa hingga sampai di Kadid, baru kemudian beliau berbuka". [Muttafaqun 'alaihi]

Fatawa Ringkas Seputar Puasa : bagian 24

Bersama : Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni hafidzahullah (Bagian Kedua Puluh Empat)






SEPUTAR SAFAR DI BULAN RAMADHAN (4)



75. Bolehkah tidak berpuasa jika safarnya dalam rangka kemaksiatan?


Jawab: Para ulama sepakat bolehnya tidak berpuasa dalam safar yang mengandung ketaatan, seperti ibadah haji, jihad, silaturahmi, mencari nafkah yang wajib dan menuntut ilmu. Adapun safar yang mubah, seperti berdagang maka pendapat yang kuat adalah boleh juga, ini adalah pendapat Jumhur ulama. Dalil mereka keumuman dalil yang ada.


Permasalahan yang terjadi padanya perdebatan yang sengit di kalangan para ulama adalah safar dalam rangka kemaksiatan. Pendapat yang terpilih adalah boleh juga tidak berpuasa. Ini adalah pendapat Abu hanifah dan Azh Zhahiriyyah. Dalil mereka keumuman dalil-dalil yang ada;


{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}


"Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." [QS. Al Baqarah; 184]


Allah menyebutkan safar dalam ayat ini secara umum, mencakup semua jenis safar, tidak mengkhususkan jenis safar tertentu tanpa yang lainnya.

Fatawa Ringkas Seputar Puasa : bagian 23

Bersama : Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni hafidzahullah (Bagian Kedua Puluh Tiga)






SEPUTAR SAFAR DI BULAN RAMADHAN (3)



73. Apakah seorang yang senantiasa melakukan safar boleh baginya tidak berpuasa?


Jawab: Keringanan ini berlaku untuk semua jenis musafir, tidak dibeda-bedakan, baik musafir yang sementara karena ada hajat maupun yang selalu melakukan perjalanan jauh, seperti supir bus besar, supir kontainer, tukang pos luar kota atau luar negeri. Hal ini karena keumuman dalil-dalil yang ada.


{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}


"Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." [QS. Al Baqarah; 184]


FAEDAH:


Difatwakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga Syaikh Bin Baz rahimahumullah, bahwa musafir yang menggunakan kapal dalam safarnya, dia membawa keluarganya dalam kapalnya, dan tidak memiliki negeri tempat untuk dia pulang, sedangkan keadaannya senantiasa safar, maka jika demikian keadaannya maka wajib baginya berpuasa karena perjalanan dia tidak pernah terputus dan juga seolah-olah kapalnya adalah rumahnya, namun orang yang keadaannya seperti ini sedikit. Adapun jika dia memiliki keluarga, akan tetapi tidak dibawa bersamanya maka boleh dia memilih antara berpuasa atau berbuka.


Friday, July 11, 2014

Fatawa Ringkas Seputar Puasa : bagian 22

Bersama : Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni hafidzahullah (Bagian Kedua Puluh Dua)






SEPUTAR SAFAR DI BULAN RAMADHAN (2)



70. Apakah yang lebih utama bagi musafir, berbuka ataukah berpuasa?


Jawab: Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam masalah ini. Pendapat yang terpilih dalam masalah ini adalah mana yang lebih mudah dan ringan baginya, jika berbuka itu lebih mudah dan ringan baginya maka itu lebih baik untuk dirinya, namun apabila berpuasa lebih mudah dan ringan baginya, tidak ada kesulitan ketika mengqadha di hari yang lainnya maka puasa untuk dirinya lebih utama. Ini adalah pendapat Mujahid, Umar bin Abdul Aziz, Qatadah dan dipilih oleh Ibnul Mundzir dan Syaikhul Islam di sebagian fatawanya.


Dalil-dalil mereka;


{يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ}


"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." [QS. Al Baqarah: 185]


Dan juga hadits Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu 'anhu;


«كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ، فَمِنَّا الصَّائِمُ وَمِنَّا الْمُفْطِرُ، فَلَا يَجِدُ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ، وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ، يَرَوْنَ أَنَّ مَنْ وَجَدَ قُوَّةً فَصَامَ، فَإِنَّ ذَلِكَ حَسَنٌ وَيَرَوْنَ أَنَّ مَنْ وَجَدَ ضَعْفًا، فَأَفْطَرَ فَإِنَّ ذَلِكَ حَسَنٌ»


"Kami pernah ikut berperang bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang berpuasa dan ada pula yang berbuka. Orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka begitu juga orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa. Mereka berpendapat bahwa siapa yang kuat lalu ia berpuasa, maka itu adalah baik, dan siapa yang merasa lemah lalu ia berbuka, maka itu pun juga baik." [HR. Muslim]


Adapun Firman Allah Ta'ala:


{وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ}


Ini adalah pada awal-awal disyariatkannya puasa, kaum muslimin boleh memilih antara tidak berpuasa tetapi memberi makan fakir miskin atau berpuasa, sedangkan Allah Ta'ala membimbing untuk memilih puasa karena itu lebih baik untuk mereka. Ayat ini tidak berkaitan dengan permasalahan safar.

Fatawa Ringkas Seputar Puasa : bagian 21

Bersama : Syaikhuna Abdurahman Al 'Adeni hafidzahullah (Bagian Kedua Puluh Satu)






SEPUTAR SAFAR DI BULAN RAMADHAN (1)



68. Bolehkah seorang musafir tidak berpuasa?


Jawab: Boleh bagi seorang musafir untuk tidak berpuasa. Hal ini ditunjukan oleh Al Qur'an, As Sunnah dan Al Ijma'.


Allah Ta'ala berfirman:


{فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ}


"Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." [QS. Al Baqarah; 184]


Hadits 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata;


سَأَلَ حَمْزَةُ بْنُ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيُّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصِّيَامِ فِي السَّفَرِ؟ فَقَالَ: «إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ»


"Hamzah bin 'Amr Al Aslami bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang berpuasa dalam perjalanan, maka beliau menjawab: "Jika kamu mau berpuasalah dan jika tidak berbukalah." [Muttafaqun 'alaihi]


Hadits Anas radhiyallahu 'anhu, ia berkata;


«كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى المُفْطِرِ، وَلاَ المُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ»


"Kami pernah bepergian bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, yang berpuasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka juga tidak mencela yang berpuasa". [Muttafaqun 'alaihi]


Hadits Abud Darda' radhiyallahu 'anhu, ia berkata;


«خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي حَرٍّ شَدِيدٍ، حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ، إِلَّا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ»


"Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di bulan Ramadhan saat terik matahari begitu menyengat hingga salah seorang dari kami meletakkan tangannya di atas kepalanya. Di antara kami tidak ada yang berpuasa kecuali Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Abdullah bin Rawahah." [Muttafaqun 'alaihi]


Dan juga Al Ijma', kaum muslimin sepakat bahwa musafir boleh baginya tidak berpuasa.

Tuesday, July 8, 2014

Fatawa Ringkas Seputar Puasa : bagian 20

Bersama: Syaikh Abdurahman Al 'Adeni hafidzahullah (Bagian Keduapuluh)






HUKUM MAKAN SAHUR



66. Apakah hukum makan sahur?


Jawab: Para ulama sepakat bahwa makan sahur hukumnya mustahab (sunah). Dinukilkan kesepakatan ini oleh Ibnul Mundzir dan yang lainnya. Demikian pula hukum mengakhirkan makan sahur hukumnya mustahab.


Dalil-dalil yang menunjukan hal tersebut:


عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَةً»


"Dari Anas radhiyallahu 'anhu, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Makan sahurlah kalian, karena (makan) di waktu sahur itu mengandung barakah." [Muttafaqun 'alaihi]


عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ، أَكْلَةُ السَّحَرِ»


"Dari 'Amr bin Ash, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perbedaan antara puasa kita dengan puasanya Ahli Kitab adalah makan sahur." [HR. Muslim]


عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: «تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ» قُلْتُ: كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: خَمْسِينَ آيَةً.


"Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu, ia berkata; "Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan sesudah itu kami beranjak untuk menunaikan shalat." saya bertanya, "Kira-kira berapa lama jarak antara makan sahur dan shalat." Ia menjawab, "Kira-kira selama pembacaan lima puluh ayat." [Muttafaqun 'alaihi]

Monday, July 7, 2014

Realisasi Puasa

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah berkata,




"Wajib bagi muslim untuk menjaga puasanya. Jika perut dan kemaluannya puasa, puasa juga pendengaran, penglihatan, indera, dan anggota badannya dari setiap hal yang Allah haramkan. Yang demikian itu dengan menjauhi tempat-tempat fitnah, tempat-tempat yang ada nyanyian dan alat musik serta tidak membukanya lewat radio dan yang lainnya.


Menjauhi dari pandangan haram, maka jangan pergi ke pasar-pasar yang padanya ada para wanita. Menjauhi dari pandangan ke layar televisi, sinema, dan lainnya yang menampakkan kesenangan-kesenangan dan fitnah-fitnah. Ditampakkan pada perantara-perantara ini sandiwara, sinetron, dongeng, dan humor. Maka sebagian manusia tersibukkan dengannya dalam keadaan dia sedang berpuasa, dia melihat padanya dan mendengar darinya. Dimanakah (realisasi) puasa?"



Sumber : WhatsApp Thulab Fiyus

Antara Al Qur`An dan Ketakwaan

Berkata Asy Syaikh Al ‘Utsaimin – rahimahullah – dalam pelajaran tafsir pada ayat: «هُدًى لِلْمُتَّقِيْن»
“Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa” [Al Baqarah: 2]:


ومن فوائد هذه الآية أن القرآن هدى للمتقين.
ويترتب على هذه الفائدة , أنك إذا رأيت الله قد منّ عليك بفهم كتابه والعمل به فاعلم أنك من المتقين لأنه قال » هدى للمتقين«, فإذا رأيت من نفسك أن الله منَّ عليك بالعلم والعمل بكتابه فأبشر فإنك من المتّقين .
ويتفرع على هذا فائدة أخرى , إذا رأيت الغفلة وعدم الانتفاع بالقرآن فاحذر فإن هذا يدل على نقص تقواك . لأنه لو كانت تقواك كاملة لكان هذا القرآن هدى لك .
ويتفرع على هذا أيضًا , الحث على التقوى وأنه سبب الاهتداء بالقرآن وأنك كلما اتقيت الله ازددت انتفاعًا بالقرآن واهتداءً به .


“ Termasuk faidah dari ayat ini: bahwa Al Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.


Kemudian dapat diambil dari faidah ini…




  • Apabila engkau melihat dari dirimu bahwa Allah telah menganugerahkan kepadamu ilmu dan amal, maka bergembiralah karena engkau termasuk golongan orang-orang yang bertakwa.


Kemudian bercabang dari faidah ini…




  • Apabila engkau melihat kelalaian (dari dirimu) dan tidak dapat mengambil manfaat dari Al Qur`an, maka berhati-hatilah. Karena ini menunjukkan kurangnya ketakwaanmu. Seandainya saja ketakwaanmu sempurna niscaya Al Qur`an akan menjadi petunjuk bagimu.


Bercabang dari faidah ini pula…




  • Adanya anjuran untuk bertakwa. Dan ketakwaan tersebut merupakan sebab seseorang mendapatkan petunjuk dengan Al Qur`an. Semakin engkau bertakwa kepada Allah, semakin pula engkau bisa mengambil manfaat dan petunjuk dari Al Qur`an.”


Faedah dari al-Akh Abu Ahmad Abdul Mannan --hafidhahullah--,


salah seorang thalib di Daarul Hadits, Fuyusy | WhatsApp Thullab Fuyusy

Permisalan Salaf Menunjukkan Semangat Mereka Dalam Penjagaan Al Quran di Bulan Ramadhan

Asy Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkholi hafidzahullah memetikkan faedah berikut ini;


"Sungguh dahulu para Sahabat Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalam sangat mengagumkan dalam qiraah dan bacaan mereka dalam shalat--semoga Allah meridhai para Sahabat dan yang mengikuti mereka dengan kebaikan sampai Hari Akhir--. Dahulu Rasulullah shalallahu 'alaihi wasalam membaca dan menghidupkan malamnya dengan qiraah sebagaimana Robbnya tabaraka wa ta'ala telah memerintahkannya. Maka selayaknya bagi seorang muslim untuk menjaga Al Quran ini.


Jika dia tidak menjaga Al Quran di bulan yang dia diturunkan padanya, kapan lagi dia akan menjaganya? Nabi shalallahu 'alaihi wasalam bersabda,


من قرأ حرفا من كتاب الله، فله به حسنة والحسنة بعشر أمثالها، لم أقول ألم حرف ولكن ألف حرف ولام حرف وميم حرف


"Barang siapa membaca satu huruf dari kitab Allah, baginya satu kebaikan dan sepuluh kebaikan yang semisal dengannya. Saya tidak mengatakan ألم satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf."

Jangan Menyia-nyiakan Waktu

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:


"إِضَاعَةُ الْوَقْتِ أَشَدُّ مِنَ الْمَوْتِ، لِأَنَّ إِضَاعَةَ الْوَقْتِ تَقْطَعُكَ عَنِ اللهِ وَالدَّارِ الْآخِرَةِ، وَالْمَوْتُ يَقْطَعُكَ عَنِ الدُّنْيَا وَأَهْلِهَا." الفوائد ص: ٣١


“Menyia-nyiakan waktu lebih dahsyat daripada kematian, karena menyia-nyiakan waktu, memutus Anda dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian memutus Anda dari dunia dan penduduknya.”


[Al-Fawaid, hlm. 31]

Riset : Manakah Yang Lebih Utama: Membaca Al Qur`An Dengan Tadabbur (Menghayati) atau Memperbanyak Mengkhatamkan Al Qur`an Tanpa Adanya Tadabbur?

Pada bulan Ramadhan dapat kita saksikan umat Islam bersemangat dalam memperbanyak amalan-amalan shalih dengan semangat yang tidak kita jumpai semisalnya pada bulan-bulan selain Ramadhan. Di antara amalan yang paling banyak dikerjakan padanya adalah membaca Al Qur`an.


Namun tentunya patut untuk diingat bahwa semangat tanpa didasari ilmu tidaklah membuahkan hasil yang optimal, bahkan bisa jadi tidak membuahkan apa-apa. Orang yang memiliki ilmu lah yang akan meraih hasil yang banyak dari kesempatan yang diberikan Allah kepadanya untuk beramal pada bulan Ramadhan ini dan pada bulan-bulan selainnya.


Maka berikut kami bawakan terjemahan dari beberapa perkataan ulama tentang perbandingan antara membaca Al Qur`an dengan tartil dan penghayatan, dengan bacaan Al Qur`an dengan cepat untuk memperbanyak mengkhatamkan Al Qur`an. Agar kita bisa memilih mana di antara keduanya yang lebih baik untuk kita amalkan.


4Asy Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmy – rahimahullah – pernah ditanya, “Manakah yang lebih afdhal, seseorang membaca Al Qur`an dan mengkhatamkannya beberapa kali, ataukah membacanya dengan perlahan beserta tafsirnya satu kali atau dua kali (khatam) di bulan Ramadhan?”
Maka beliau – rahimahullah – menjawab, “Demi Allah, apabila dia hanya mengkhatamkannya satu kali beserta tafsirnya dan memahami-(makna)nya, lebih baik daripada membacanya dengan cepat seperti itu.
Abdullah bin Mas’ud ketika seseorang berkata padanya, “Aku telah membaca surat-surat mufasshal semalam.” Al Mufasshal panjangnya empat juz. Dari surat Qaf dan surat-surat yang setelahnya. Maka Abdullah berkata pada orang itu, “Kamu membacanya dengan cepat seperti membaca syair??!” (yaitu beliau mengingkarinya – pen).




Maka seharusnya seseorang membaca Al Qur`an dengan penuh perhatian. Sedangkan apabila dia telah mengerti (maknanya), misalnya sebelum ini dia pernah membaca tafsir dan jelas maknanya baginya, maka yang lebih baik untuknya dia membaca dengan perlahan dan penuh perhatian sambil mengingat kembali tafsir yang pernah dibacanya.”


Metode yang Tepat dalam Menuntut Ilmu

Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata:



"فَالَّذِي يَتَعَيَّنُ عَلَى الْمُسْلِمِ الِاعْتِنَاءُ بِهِ وَالِاهْتِمَامُ أَنْ يَبْحَثَ عَمَّا جَاءَ عَنِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ يَجْتَهِدُ فِي فَهْمِ ذَلِكَ، وَالْوُقُوفِ عَلَى مَعَانِيهِ، ثُمَّ يَشْتَغِلُ بِالتَّصْدِيقِ بِذَلِكَ إِنْ كَانَ مِنَ الْأُمُورِ الْعِلْمِيَّةِ، وَإِنْ كَانَ مِنَ الْأُمُورِ الْعَمَلِيَّةِ، بَذَلَ وُسْعَهُ فِي الِاجْتِهَادِ فِي فِعْلِ مَا يَسْتَطِيعُهُ مِنَ الْأَوَامِرِ، وَاجْتِنَابِ مَا يُنْهَى عَنْهُ، وَتَكُونُ هِمَّتُهُ مَصْرُوفَةً بِالْكُلِّيَّةِ إِلَى ذَلِكَ؛ لَا إِلَى غَيْرِهِ. وَهَكَذَا كَانَ حَالُ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالتَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ النَّافِعِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ."

(جامع العلوم والحكم ١/ ٢٤٤)


---------------------------------------


"Maka yang harus selalu diperhatikan dan dicamkan oleh setiap muslim adalah;




  • Mencari apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam (ilmu yang bermanfaat),

  • Lantas bersungguh-sungguh dalam memahaminya dan mendalami kandungan maknanya

  • Berikutnya berupaya memantapkan keyakinan tentangnya jika termasuk dalam koridor permasalahan yang bersifat keilmuan, dan jika termasuk dalam koridor permasalahan yang bersifat amalan maka dengan berupaya semaksimal mungkin menjalankan segala yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi segala yang dilarang-Nya.

  • Hendaklah segenap perhatiannya selalu tertuju kepada yang demikian itu, tidak kepada selainnya.

  • Demikianlah kondisi para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para tabi’in yang mengikuti jejak mereka dengan sebaik-baiknya dalam hal mencari ilmu yang bermanfaat (al-ilmu an-nafi’) yang bersumber dari al-Kitab dan as-Sunnah."


(Jami’ al-Ulum wal Hikam 1/244)

Fatawa Ringkas Seputar Puasa : bagian 19

Bersama: Syaikh Abdurahman Al 'Adeni hafidzhullahu (Bagian Kesembilanbelas)






JENIS MAKANAN UNTUK IFTHAR (BERBUKA PUASA)



64. Dengan apa seseorang berbuka puasa?


Jawab : Pendapat yang kuat dan terpilih adalah boleh bagi orang yang berpuasa berbuka dengan apa saja dari segala jenis makanan maupun minuman yang ada. Adapun mengkhususkan memulai berbuka dengan ruthab atau kurma terlebih dahulu maka hal ini tidak sah datangnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.


Dalam hadits Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu 'anhu, ia berkata;


كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، فَلَمَّا غَابَتِ الشَّمْسُ قَالَ: «يَا فُلَانُ، انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا» قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ عَلَيْكَ نَهَارًا، قَالَ: «انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا» قَالَ: فَنَزَلَ فَجَدَحَ، فَأَتَاهُ بِهِ، فَشَرِبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.


"Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam suatu perjalanan di bulan Ramadhan. Ketika matahari telah terbenam, beliau bersabda: "Hai fulan! Turunlah, dan siapkan minuman untuk kita." Maka orang itu pun berkata, "Hari masih siang ya Rasulullah!" beliau bersabda lagi: "Turunlah dan siapkan minuman untuk kita." Abdullah berkata; Maka orang itu pun turun dan segera menyiapkannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan kemudian langsung minum. [Muttafaqun 'alaihi]


Dalam hadits ini Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berbuka dengan Sawik yang dicampur dengan air.


4Yang lebih utama saat berbuka puasa hendaknya tidak memperbanyak makan dan minum sekaligus, tetapi secara bertahap.

Fatawa Ringkas Seputar Puasa : bagian 18

Bersama: Syaikh Abdurahman Al 'Adeni hafidzhullahu (Bagian Kedelapanbelas)






HUKUM MENYEGERAKAN IFTHAR (BERBUKA PUASA)



61. Apakah hukum menyegerakan berbuka puasa?


Jawab: Para ulama sepakat bahwa hal tersebut hukumnya mustahab (sunah).


عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ وَأَدْبَرَ النَّهَارُ، وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ»


"Dari Umar radhiyallahu 'anhu, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila malam telah datang, siang telah hilang, dan matahari telah terbenam, maka seorang yang berpuasa sungguh sudah boleh berbuka". [Muttafaqun 'alaihi]


عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ»


"Dari Sahl bin Sa'ad radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka (puasa) ". [Muttafaqun 'alaihi]


?Faedah:


Dua hadits diatas menunjukan disyariatkan berbuka puasa terlebih dahulu sebelum menunaikan shalat maghrib. Berkata Syaikhul Islam: "Berbuka puasa sebelum menunaikan shalat maghrib lebih utama berdasarkan kesepakatan para ulama".

Fatawa Ringkas Seputar Puasa : bagian 17

Bersama: Syaikh Abdurahman Al 'Adeni hafidzhullahu (Bagian Ketujuhbelas)






HUKUM WISHAL



56. Apakah makna Wishal?


Jawab: Wishal adalah menyambung puasa atau puasa terus menerus selama dua hari atau lebih tanpa disela-selai berbuka maupun sahur. Adapun jika pada malam dia minum walaupun sedikit atau makan walaupun sedikit terus tidak makan lagi, maka ini tidak dikatakan Wishal. Dikatakan Wishal jika terus menerus berpuasa (siang malam) selama dua hari atau lebih tanpa makan dan minum.


57. Apakah hukum Wishal?


Jawab: Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, apakah dia makruh ataukah haram. Pendapat yang kuat dan terpilih adalah haram, ini adalah pendapat Jumhur ulama. Dalil mereka;


1. Hadits Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:


أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، نَهَى عَنِ الْوِصَالِ، قَالُوا: إِنَّكَ تُوَاصِلُ، قَالَ: «إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ إِنِّي أُطْعَمُ وَأُسْقَى»


"Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang puasa Wishal, maka para sahabat pun berkata, "Bukankah Anda sendiri melakukan puasa Wishal?" Beliau bersabda: "Sesungguhnya saya tidaklah sebagaimana kalian, karena saya diberi makan dan minum (oleh Rabb-ku)." [Muttafaqun 'alaihi]


2. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata:


قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِيَّاكُمْ وَالْوِصَالَ» قَالُوا: فَإِنَّكَ تُوَاصِلُ، يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: «إِنَّكُمْ لَسْتُمْ فِي ذَلِكَ مِثْلِي، إِنِّي أَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي، فَاكْلَفُوا مِنَ الْأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ»


"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian melakukan puasa Wishal." Mereka bertanya, "Bukankah Anda sendiri melakukan puasa Wishal wahai Rasulullah?" Maka beliau menjawab: "Sesungguhnya kalian tidaklah sebagaimana aku, sesungguhnya ketika aku bermalam Rabb-ku memberiku makan dan minum. Karena itu, beribadahlah kalian sesuai dengan kemampuan kalian." [Muttafaqun 'alaihi]

Fatawa Ringkas Seputar Puasa : bagian 16

Bersama: Syaikh Abdurahman Al 'Adeni hafidzhullahu (Bagian Keenambelas)






PERMASALAHAN SEPUTAR JIMAK (2)



51. Apakah kafarah jimak juga dibebankan kepada wanitanya?


Jawab: Jumhur ulama berpendapat bahwa kafarah juga dikenakan kepada wanita, karena hukumnya hukum laki-laki. Namun pendapat yang terpilih adalah pendapat Azh Zhahiriyah, Syafi'iyah, Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Al Hasan dan Al Auza'i, yaitu kafarah tidak dikenakan kepada wanita, karena zhahir hadits bahwa kafarah tersebut hanya diberlakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada laki-laki saja. Apabila berlaku juga untuk wanita maka niscaya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam akan memerintahkan pula, sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kepada Abdullah bin Unais untuk menanyakan kepada wanita yang melakukan zina;


«وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا، فَإِنِ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا»


"Wahai Unais, besok pagi pergilah kamu kepada isteri orang ini, lalu periksa, apakah dia memang benar berzina, jika dia mengaku berzina, maka rajamlah dia." [HR. Al Bukhari - Muslim]


52. Apakah selain membayar kafarah, diperintahkan pula untuk mengqadha puasanya?


Jawab: Pendapat yang kuat dan terpilih tidak wajib mengqadha puasanya, karena riwayat:


«وَصُمْ يَوْمًا مَكَانَهُ»


"Berpuasalah satu hari untuk menggantinya." [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah]


Adalah riwayat yang tidak shahih. Ini adalah yang dipilih oleh Syaikhuna Muqbil rahimahullah. Barangsiapa mewajibkan qadha maka wajib mendatangkan dalil (yang shahih).

Friday, July 4, 2014

Fatawa Ringkas Seputar Puasa : bagian 15

Bersama: Syaikh Abdurahman Al 'Adeni hafidzhullahu (Bagian Kelimabelas)






PERMASALAHAN SEPUTAR JIMAK (1)



46. Hukum jimak dengan sengaja?


Jawab: Barangsiapa yang berjimak dengan sengaja maka dikenakan padanya kafarah yang berat, sebagaimana yang ditunjukan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata;


جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: هَلَكْتُ، يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ: «وَمَا أَهْلَكَكَ؟» قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ، قَالَ: «هَلْ تَجِدُ مَا تُعْتِقُ رَقَبَةً؟» قَالَ: لَا، قَالَ: «فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟» قَالَ: لَا، قَالَ: «فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟» قَالَ: لَا، قَالَ: ثُمَّ جَلَسَ، فَأُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ، فَقَالَ: «تَصَدَّقْ بِهَذَا» قَالَ: أَفْقَرَ مِنَّا؟ فَمَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا، فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: «اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ»


"Seorang laki-laki datang menghadap Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Celaka diriku wahai Rasulullah." Beliau bertanya: "Apa yang telah mencelakakanmu?" Laki-laki itu menjawab, "Saya telah menggauli isteriku di siang hari pada bulan Ramadhan." Beliau bertanya: "Sanggupkah kamu untuk memerdekakan budak?" Ia menjawab, "Tidak." Beliau bertanya lagi: "Sanggupkah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?" "Tidak." jawabnya, Beliau bertanya lagi: "Sanggupkah kamu memberi makan kepada enam puluh orang miskin?" Ia menjawab, "Tidak." Abu Hurairah berkata; Kemudian laki-laki itu pun duduk, sementara Nabi shallallahu 'alaihi wasallam diberi satu keranjang berisi kurma. Maka beliau pun bersabda: "Bersedekahlah dengan kurma ini." Laki-laki itu pun berkata, "Adakah orang yang lebih fakir dari kami, karena tidak ada penduduk di sekitar sini yang lebih membutuhkannya daripada kami." Mendengar ucapan itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tertawa hingga gigi taringnya terlihat. Akhirnya beliau bersabda: "Pulanglah dan berilah makan keluargamu dengannya." [HR. Al Bukhari - Muslim]


Jimak yang dimaksud adalah mencakup jimak lewat qubul dan dubur, baik keluar mani maupun tidak keluar mani.


Kafarah dalam hadits Abu Hurairah ditempuh secara urut, tidak boleh memilih mana yang ia inginkan, yaitu tidak boleh berpindah ke tahap yang kedua kecuali jika dia memang benar-benar tidak mampu menjalankan tahap yang pertama, seperti kafarah Dzihar.

Fatawa Ringkas Seputar Puasa : bagian 14

Bersama: Syaikh Abdurahman Al 'Adeni hafidzhullahu (Bagian Keempatbelas)






HUKUM MENCIUM ISTERI DALAM KEADAAN BERPUASADAN HUKUM BANGUN PAGI DALAM KEADAAN JUNUB



42. Hukum mencium isteri dalam keadaan berpuasa?


Jawab: Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama, namun pendapat yang kuat bahwa mencium isteri atau menyentuhnya, selain jimak maka hal tersebut tidak mengapa. Ini adalah pendapat Abu Hurairah, 'Aisyah, Sa'ad bin Abi Waqash, dan juga Ahmad, Ishaq dan Azh Zhahiriyah.


Dalil mereka hadits Umu Salamah dan 'Aisyah radhiyallahu 'anhuma:


«أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ»


"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mencium isterinya padahal beliau sedang berpuasa." [HR. Al Bukhari - Muslim]


Dan juga hadits Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:


«أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ يُصِيبُ مِنَ الرُّءُوسِ، وَهُوَ صَائِمٌ»


"Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mencium padahal beliau sedang berpuasa." [HR. Ahmad, dishahihkan Syaikh Muqbil]


Tuesday, July 1, 2014

Fatawa Ringkas Seputar Puasa : bagian 13

Bersama: Syaikh Abdurahman Al 'Adeni hafidzhullahu (Bagian Ketigabelas)






HUKUM GHIBAH DAN NAMIMAH BAGI ORANG YANG BERPUASA DAN HUKUM MANDI DI SIANG HARI PADA BULAN RAMADHAN



39. Apakah ghibah (menggunjing) dan namimah (adu domba) membatalkan puasa?


Jawab: Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama, namun pendapat yang kuat bahwa hal tersebut tidak membatalkan puasa. Ini adalah pendapat Jumhur ulama. Adapun hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


«مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ»


"Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan keji dan berbuat keji, maka Allah tidak butuh perbuatan dia meninggalkan makan dan minumnya." [HR. Al Bukhari]


Ini adalah perbuatan yang haram,  baik dalam keadaan berpuasa maupun tidak berpuasa, hal ini bisa mengurangi pahala puasanya, namun tidak sampai membatalkan puasa.